Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi segera membahas kelanjutan pengujian Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait ambang batas presiden yang diajukan ekonom senior Rizal Ramli dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).

"Hakim panel akan melaporkan kepada sembilan hakim dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) bagaimana kelanjutan sikap Mahkamah atau sikap majelis terhadap permohonan ini," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang perbaikan permohonan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, yang disiarkan secara daring.

Dalam perbaikan permohonan, pemohon menilai pembentuk undang-undang secara sepihak menghilangkan hak konstitusional partai politik baru, padahal Pasal 6A ayat (2) UU 1945 memberikan hak sama kepada partai politik yang memiliki perwakilan di parlemen untuk mengusung calon.

Rizal Ramli pun kembali menyampaikan pandangannya tentang pentingnya sistem demokrasi di Tanah Air diperbaiki agar semua calon terbaik dapat berkompetisi tanpa terbebani upeti kepada partai politik.

Baca juga: Hakim MK minta penegasan Rizal Ramli capres Pemilu 2024 atau tidak
Baca juga: Rizal Ramli minta MK hapus ambang batas presiden
Baca juga: Gugat ambang batas, Rizal Ramli sebut calon terbaik sulit ikut pemilu

Menurut dia, ia telah berbicara dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD dan Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko pentingnya menghapus ambang batas presiden.

"Saya katakan, Pak Mahfud, mari kita tinggalkan warisan sistem yang lebih demokratis, yang bebas politik uang. Saya juga bicara dengan Ketua KSP Pak Moeldoko, saya mohon Pak Moeldoko, kita perjuangkan sama-sama supaya kita wariskan buat yang akan datang, yang terbaik dari bangsa kita bisa nongol di semua level," kata Rizal Ramli.

Rizal Ramli pun meminta hakim membuka mata bahwa Indonesia tertinggal dari negara-negara lain yang sudah tidak menerapkan ambang batas presiden.

Untuk itu, mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli dan rekannya Abdulrachim Kresno meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat.

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020