Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah pakar politik menilai bahwa peliputan media massa, terutama televisi, membuat sejumlah anggota DPR menjadi aji mumpung bertindak ricuh dan anarkis manakala tidak diberi kesempatan meginterupsi.

"Peliputan media massa luar biasa. Saat keinginan anggota dewan untuk beraspirasi tidak dipenuhi, maka tindakan tidak etislah yang keluar. Mungkin mereka berpikir, mumpung ada media massa yang meliput, jadi sekalian saja biar semua penonton tahu," kata mantan anggota DPR, Ferry Mursidan, di Gedung DPD, Jakarta, Jumat.

Menurut Ferry Mursidan, para anggota DPR seharusnya mengerti betul aturan dalam mengikuti rapat, dan jangan sampai melihat pasal pada saat persidangan berlangsung.

Senada dengan Ferry, Guru Besar Fakultas Ilmu Politik dan Sosial Universitas Indonesia (FISIP UI) Profesor Maswadi Rauf berpendapat, kericuhan berupa teriakan, penggebrakan meja, dan pelemparan barang, baru-baru saja menjadi tren beberapa tahun terakhir.

"Seharusnya, anggota Dewan bermain dalam adu argumenatasi, bukan malah melakukan tindakan yang melanggar kode etik seperti itu," tutur Maswadi Rauf.

Maswadi Rauf menyayangkan perilaku anggota DPR yang seolah-olah sudah menjadi standar. Citra DPR ditentukan oleh sikap anggotanya.

Pada tahun 1998, kata Maswadi, partai politik memiliki tugas berat untuk mencari pemimpin bangsa, padahal, mereka belum siap.

"Yang terjadi kemudian adalah partai membiarkan siapa pun masuk partai dan langsung jadi calon legislator, tanpa pendidikan politik yang mencukupi," tuturnya.

Menurut dia, perlu diadakan semacam standar kompetensi untuk calon legislator agar kejadian seperti di Sidang Paripurna lalu tak terjadi. Namun, pemerintah tak bisa mengatur hal itu karena dianggap tidak memerdekakan partai politik.

"Bagaimana caranya, sekarang hanya parpol yang bisa menetapkan standar itu. Namun, sayangnya parpol itu tidak suka dikritik," demikian Maswadi.
(T.M-PPS/E001/P003)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010