RUU PKS mengadopsi prinsip-prinsip keadilan, tidak betul kalau dikatakan hanya dari feminisme
Padang (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) membantah pandangan yang menyatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) hanya mengadopsi prinsip-prinsip feminisme.
"RUU PKS ini mengadopsi prinsip-prinsip keadilan sehingga tidak betul kalau dikatakan hanya dari feminisme, kami mengambil dari berbagai paham," kata Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor di Padang, Minggu.
Baca juga: Komnas Perempuan: Deposito penyalur pekerja migran untuk pemulihan
Ia menyampaikan hal itu pada webinar Bedah RUU PKS dan Urgensinya untuk Disahkan digelar oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Pengenalan Hukum dan Politik (PHP) Universitas Andalas Padang.
Maria menjelaskan secara sederhana feminisme merupakan ide atau pemikiran untuk melawan ketidakadilan yang menimpa perempuan dan orang yang memperjuangkan disebut feminis.
Baca juga: Komnas perempuan gandeng Telkomtelstra permudah layanan pengaduan
"Dengan demikian orang yang menolak feminisme sama saja dengan menyetujui ketidakadilan pada perempuan berlangsung terus menerus," kata dia.
Sebagai muslim ia mengatakan dalam Islam perjuangan Nabi Muhammad SAW salah satunya adalah menghentikan tradisi jahiliyah seperti mengubur hidup anak perempuan, melakukan diskriminasi perempuan menjadi meninggikan harkat dan martabat perempuan.
"Tidak hanya itu di masa jahiliyah perempuan dinikahi tanpa batas dan begitu Islam hadir diatur hanya maksimal empat," ujarnya.
Baca juga: Komnas Perempuan sesalkan penundaan pembahasan RUU PKS
Ia mengatakan kalau mengacu pada prinsip-prinsip keadilan terhadap perempuan dalam Islam maka sesungguhnya Nabi Muhammad adalah feminis sejati.
"Oleh sebab itu jika ada yang mengatakan RUU PKS diadopsi dari feminisme perlu ditanyakan lagi feminisme yang mana?," katanya.
Pada sisi lain ia melihat adanya ketidaksepahaman terhadap RUU PKS karena masyarakat cenderung menerima informasi hanya dari media sosial dibanding membaca langsung naskah akademik dan RUU.
Baca juga: Komnas perempuan: Kawin tangkap adalah tindakan kekerasan perempuan
"Sudahlah membaca hanya dari media sosial, masyarakat tidak melacak lagi sumber dari mana diviralkan pula, ini yang membuat terjadinya kesalahpahaman berantai," kata dia.
Ia mengakui masyarakat awam lebih suka membaca media sosial dan harus diakui di medsos ada orang yang senang menggoreng isu dan ditumpangi dengan kepentingan politik tertentu.
Baca juga: Komnas Perempuan: Ada peningkatan pengaduan selama pandemi COVID-19
Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020