"Jika ditanya apa sistem politik ekonomi Indonesia, orang menjawab bukan marksis, bukan sosialis, bukan ini dan bukan itu. Jadi, sistem politik-ekonomi Indonesia itu bukan ini bukan itu," kata Dorodjatun dalam diskusi membahas draft buku karyanya, "Menerawang Indonesia", di Jakarta, Kamis.
Mantan Menteri Perekonomian tersebut mengatakan, sistem politik dan ekonomi Indonesia selama ini tidak jelas karena terus berubah di setiap pergantian pemimpin. Hal inilah yang menurutnya membuat perkembangan ekonomi Indonesia tidak bisa berkembang cepat.
"Sementara negara lain sedang sibuk mengembangkan ilmu pengetahuannya, Indonesia justru terus mengalami perubahan sistem politik dan ekonomi yang terus berubah di tiap pemerintahan," tutur Dorodjatun.
Menurut Dorojatun, dalam menghadapi pasar bebas, Indonesia tidak bisa hanya tergantung pada variabel ekonomi saja, melainkan juga pada institusinya.
"Dunia akan semakin terbuka. Daya saing itu tidak bisa hanya tergantung pada variabel ekonomi dan hanya dilihat dari pendapatan perkapita," kata Dorodjatun.
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa kemiskinan yang dialami Indonesia bukan hanya dilihat dari pendapatan tetapi justru kemiskinan yang sebenarnya berada di institusi.
Dalam menghadapi keterbukaan dunia saat ini, Dorodjatun mengatakan harus memperhatikan berbagai variabel yang mempengaruhi perkembangan suatu bangsa, antara lain geografi, demografi, dan sejarah.
"Kita harus meningkatkan antisipasi dan jangan mengukur sesuatu hanya dari satu variabel. Perlu diingat politik kultural juga sangat mempengaruhi perjalanan bangsa," ujar Dorodjatun.
Untuk menghadapi persaingan bebas, Dorojatun mengatakan, Indonesia harus mampu memiliki daya saing yang kuat yang terbentuk dari berbagai faktor, seperti pertahanan, budaya dan sumber daya manusianya.
Pengamat ekonomi Faisal H. Basri menilai dalam persaingan bebas dunia saat ini, potensi Indonesia justru tidak berkembang. Hal ini lah yang menyebabkan Indonesia tidak termasuk dalam bagian negara-negara yang maju dan berkembang.
"Dunia semakin terbuka. Potensi Indonesia, baik komoditi mau pun sumber daya manusianya justru tidak berkembang," ujar Faisal.
Berbagai perjanjian pasar bebas yang ditandatangani Indonesia, seperti APEC dan ACFTA menurut Faisal terlalu mudah dilakukan Indonesia, tanpa memikirkan keseimbangan dalam perjanjian yang dilakukan.
"Sepeti ACFTA, China pekerjanya bekerja 48 jam, sedangkan Indonesia 40 jam. Ini kan tidak seimbang. hal ini yang tidak diperhatikan," tutu Faisal.
Ketidakseimbangan bukan hanya terjadi dalam pasar bebas, tetapi juga kondisi ekonomi dalam negeri. Menurut, Faisal kondisi ekonomi Indonesia sangat tidak terintegrasi.
"Indonesia itu negara yang ekonominya paling tidak terintegrasi. Lihat saja harga beras ada yang Rp4.500 dan ada yang sampai Rp18.000. Itu berada dalam satu wilayah," tegas Faisal.
Menurut Faisal, kondisi Indonesia sekarang justru tidak berkembang jika dibandingkan dengan negara-negara lain dalam persaingan pasar bebas karena peranan konstitusi yang lemah.
Selain itu, Faisal juga menilai perjalanan Indonesia mencapai tujuan untuk maju juga terhambat karena tidak adanya pejalanan untuk mencapai tujuan tersebut.
"Negara Indonesia punya tujuan tapi tidak punya kendaraan," tutur Faisal.
(M-RFG/S026)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010