Semarang (ANTARA) - Pada masa pandemik COVID-19 bukanlah menjadi penghalang untuk menyampaikan visi dan misi serta program kerja peserta Pemilihan Kepala Daerah 2020 kepada masyarakat luas. Mereka bisa menyampaikannya melalui media sosial dan media daring.
Bahkan, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tidak melarang partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon, petugas kampanye dan/atau tim kampanye dapat melibatkan ibu hamil atau menyusui dan orang lanjut usia.
Beda ketika kontestan berkampanye melalui tatap muka secara langsung, PKPU melarang mereka mengikutsertakan balita, anak-anak, ibu hamil atau menyusui, dan orang lanjut usia.
Meskipun gedung berkapasitas lebih dari 1.000 orang, misalnya, jumlah yang hadir dalam pertemuan tatap muka dan dialog paling banyak 50 orang dengan tetap menjaga jarak paling kurang 1 meter antarpeserta kampanye.
Mereka yang hadir wajib menggunakan alat pelindung diri paling kurang berupa masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu.
Selain itu, menyediakan sarana sanitasi yang memadai pada tempat pertemuan itu berupa fasilitas cuci tangan dengan air mengalir dan sabun, dan/atau cairan antiseptik berbasis alkohol (hand sanitizer).
Baca juga: KPU Kalsel nyatakan 16 akun untuk kampanye paslon telah didaftarkan
Kontestan pilkada juga wajib mematuhi ketentuan mengenai status penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) pada daerah pemilihan serentak lanjutan setempat yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dan/atau Satuan Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.
Hal ini merupakan tantangan bagi peserta Pilkada 2020 di sembilan provinsi (22 pasangan), 224 kabupaten (570 pasangan), maupun 37 kota (95 pasangan).
Publik akan menilai siapa di antara ratusan pasang calon yang tetap eksis di tengah pandemi COVID-19. Bahkan, menjadikan wabah ini peluang untuk meraih simpati rakyat.
Pasangan calon ketika berkampanye juga harus memberikan contoh kepada masyarakat akan pentingnya penerapan protokol kesehatan COVID-19 pada masa adaptasi kebiasaan baru. Apalagi, mereka membagikan masker secara gratis kepada masyarakat.
Calon Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, misalnya, melakukan blusukan online (daring) menyapa warga melalui live streaming Facebook di Kampung Dawung Kecamatan Serengan, Solo, Jawa Tengah, Minggu (27/9) sore.
Melalui media daring, putra Presiden RI Joko Widodo itu juga sempat mencatat beberapa keluhan atau aspirasi masyarakat, serta memberi masukan-masukan saat berdialog dari satu rumah ke rumah lainnya.
Baca juga: Ilmuwan dorong calon kepala daerah kampanye dengan media sosial
Adapun batasan media daring versi PKPU No. 13/2020 tentang Perubahan Kedua atas PKPU No. 6/2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota/Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam COVID-19 adalah segala bentuk platform media dalam jaringan internet (online) yang memiliki tautan, konten aktual secara multimedia, atau fasilitasi pertemuan virtual dengan menggunakan teknologi informasi.
Definisi media sosial adalah platform berbasis internet yang bersifat dua arah yang terbuka bagi siapa saja, yang memungkinkan para penggunanya berinteraksi, berpartisipasi, berdiskusi, berkolaborasi, berbagi, serta menciptakan konten berbasis komunitas.
Para kontestan bersama tim suksesnya bisa memanfaatkan kedua media itu selama masa kampanye, 26 September hingga 5 Desember 2020. Hal ini sesuai dengan PKPU No. 5/2020 tentang Perubahan Ketiga atas PKPU No. 15/2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota/Wakil Wali Kota Tahun 2020.
Khusus kampanye melalui media massa, cetak, dan elektronik, mulai 22 November sampai dengan 5 Desember 2020.
Peran Buzzer
Selain kampanye ala Gibran via media daring yang menarik perhatian publik, peran buzzer di media sosial juga relatif berpengaruh terhadap calon pemilih.
Peneliti Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Ibnu Dwi Cahyo mengungkapkan satu buzzer yang punya follower (pengikut) lebih banyak punya pengaruh kuat untuk memenangi pemilihan kepala daerah ketimbang banyak buzzer.
Oleh karena itu, kontestan Pilkada 2020 harus tepat memilih buzzer (orang yang mempromosikan, mengampanyekan, atau mendengungkan sesuatu).
Ibnu lantas mencontohkan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017. Pada masa kampanye, pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno lebih fokus menggaet dan mengajak satu buzzer artis, yaitu Raffi Farid Ahmad. Pada saat itu, Rafi Ahmad punya follower Instagram sekitar 20 juta (sekarang sudah mencapai 40 juta).
Sementara itu, pasangan Basuki T. Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat meski banyak artis sebagai buzzer-nya, follower-nya jauh di bawah suami dari Nagita Slavina itu.
"Hasilnya Anies berhasil menggaet suara milenial dan juga netizen (warganet) Ibu Kota," kata Ibnu yang juga alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Pada Pilgub DKI Jakarta 2017, pasangan Anies-Sandiaga meraih sebanyak 3.240.987 suara (57,96 persen), sedangkan Ahok-Djarot sebanyak 2.350.366 suara (42,04 persen).
Baca juga: Kampanye minim pelanggaran, Mendagri optimistis pilkada aman COVID-19
Terkait dengan buzzer anonim, menurut Ibnu, banyak digunakan untuk tingkatkan konten agar berada di beranda Facebook, Instagram, Twitter, maupun Youtube dalam waktu lama.
Biasanya kegiatan buzzing-nya dibantu iklan yang disediakan oleh platform, seperti FB Ads, IG Ads, dan juga Google Adsense.
Kebutuhan akan buzzer media sosial memang sangat urgen karena netizen yang belum menentukan pilihan akan menggunakan referensi dari internet sebagai pedoman utama sebelum menggunakan hak suaranya, selain juga bertanya kepada teman mereka.
Belum Diatur
Jika melihat hasil Pilgub DKI Jakarta 2017, buzzer relatif berperan. Namun, apakah memanfaatkan buzzer untuk kampanye di medsos ini sudah diatur di dalam PKPU?
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati memandang perlu PKPU tentang Kampanye Pemilihan Kepala Daerah lebih progresif, termasuk mengatur pula soal buzzer.
"Jadi, tidak cukup mengatur jumlah akun medsosnya. Namun, yang penting untuk diatur sebetulnya adalah transparansi dan kontennya," kata Khoirunnisa.
Baca juga: Bawaslu temukan kampanye di 35 daerah langgar protokol kesehatan
Alumnus Universitas Indonesia ini menegaskan tidak ada pengaturan soal buzzer di dalam PKPU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Perubahan atas PKPU No. 4/2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota/Wakil Wali Kota (PKPU Kampanye Pilkada). PKPU itu hanya mengatur jumlah akun yang didaftarkan ke KPU.
Peneliti Perludem Mahaddhika menambahkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye dapat membuat akun resmi di medsos untuk keperluan kampanye selama masa kampanye. Hal ini diatur dalam PKPU Kampanye Pilkada Pasal 47 Ayat (2).
Ditegaskan pula bahwa kampanye media sosial dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon, dan/atau tim sukses.
Kendati ada pembatasan jumlah akun untuk seluruh aplikasi, yakni pilkada tingkat provinsi paling banyak 30 akun resmi dan pilkada tingkat kabupaten/kota maksimal 20 akun, jangkauan media sosial ini lebih luas ketimbang berkampanye melalui tatap muka secara langsung.
Setidaknya, kampanye melalui medsos tidak akan menimbulkan kluster baru penularan COVID-19. Namun, yang patut mendapat perhatian pemangku kepentingan dalam pilkada adalah pelaksanaan pemungutan suara, 9 Desember 2020.
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020