Jakarta (ANTARA News) - Pemohon penghapusan UU No.1/PNPS/1965 menghadirkan saksi seorang penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa, Sardy, yang memberikan kesaksian tentang diskriminasi yang dialaminya, dalam sidang uji materi di Mahkamah Kontitusi (MK), Jakarta, Rabu.
"Pada tahun 1995, saya mengalami perlakuan diskriminasi saat hendak mendaftar sebagai anggota ABRI karena saya merupakan seorang penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa," kata Sardy dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Mahfud MD.
Sardy mengatakan, pada saat itu ia terhambat untuk menjadi tentara saat dalam tahap permohonan surat berkelakuan baik di Polres Bekasi. Surat-surat lain, seperti keterangan dari desa atau kelurahan, ijazah SMA, dan surat kesehatan, telah dipersiapkan. Namun, ia gagal saat ingin meminta surat berkelakuan baik.
Menurut polisi yang berjaga saat itu, kata Sardy, orang yang menganut kepercayaan, bukan agama sehingga tidak diperkenankan untuk menjalani tes sebagai ABRI. Polisi itu pun menyarankan agar ia memilih saja salah satu agama untuk dicantumkan pada KTP.
"Saya pun menuruti saran polisi itu. Tapi, setelah saya mengubahnya pun, tetap diinterogasi mengenai keberadaan penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya, saya tetap tidak diperbolehkan untuk menjadi tentara," ungkap Sardy.
Sardy mengaku sempat menerima tinju di kuping kanannya saat terlibat adu pendapat dengan polisi yang menginterogasinya itu.
Ia merasa kecewa karena seluruh usahanya untuk menjadi tentara, berakhir sia-sia.
"Mengapa penghayat yang berpegang teguh pada Pancasila tidak bisa ikut membela negara. Menurut saya, pasal 1 PNPS 1965 tidak sesuai dengan pembukaan UUD 45," tutur Sardy.
Selain menuturkan pengalamannya tersebut, Sardy juga berbagi tentang pengalaman penduduk Baduy. Masyarakat Baduy menganggap pemerintah saat itu tidak menghormati kepercayaan adat, khususnya Sunda Wiwitan.
Maka dari itu, kebanyakan orang Baduy tidak menyekolahkan anak-anak mereka karena takut tidak akan dilayani oleh pemerintah dalam hal mengenyam pendidikan.
Sebelumnya, LSM yang mengajukan uji materi terdiri dari Yayasan Bantuan Hukum Indonesia )YLBHI), Imparsial, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, dan Yayasan Desantara.
Para pemohon berpendapat, pasal-pasal dalam UU No. 1/PNPS/ 1965 menunjukkan adanya kebijakan yang diskriminatif antaragama. Selain itu undang-udang tersebut juga bertentangan dengan prinsip toleransi, keragaman, dan pemikiran terbuka, membatasai jamian kebebasan beragama sesuai yang tercantum dalam UUD 45.
(PPS/B010)
Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010