Cikarang, Bekasi (ANTARA News) - Distributor pupuk Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, mengimbau petani untuk beralih menggunakan takaran pupuk ideal dalam rangka menghadapi wacana kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk urea bersubsidi.
"Sebenarnya petani di Kabupaten Bekasi tidak khawatir terhadap wacana kenaikan harga pupuk urea, sebab mereka sudah terbiasa dengan penggunaan pupuk organik dan majemuk," kata pengusaha distributor pupuk bersubsidi Kabupaten Bekasi, Ahmad Hayyi, kepada ANTARA, di Cikarang, Selasa.
Menurut Hayyi, takaran pupuk ideal berdasarkan arahan pemerintah adalah 500 kg pupuk organik, dan penggunaan pupuk majemuk NPK sebanyak 300 kg per hektare sawah untuk menghasilkan panen padi maksimal seberat 9,5 ton.
"Namun, dengan catatan pengelolaannya perlu didukung dengan kualitas pengairan yang baik, dan terhindar dari segala macam hama," katanya.
Dikatakan Hayyi, selisih harga penggunaan pupuk urea dan majemuk hanya berbeda sekitar Rp200 ribu untuk satu hektare lahan sawah. Dengan perhitungan penggunaan pupuk urea membutuhkan dana sekitar Rp480 ribu untuk menghasilkan padi seberat maksimal 6 ton. Belum termasuk harga penggunaan pospat dan yodium sebagai suplemen tambahan.
Sementara harga untuk penggunaan pupuk majemuk dengan porsi yang ideal per hektar sawah membutuhkan dana sekitar Rp725.800 untuk menghasilkan padi seberat maksimal 9,5 ton.
"Bila harga gabah giling saat ini senilai Rp5.000 per kilo gram, saya rasa kenaikan harga pupuk subsidi tidak terlalu berpengaruh bila dibandingkan pendapatan petani dari hasil panen tiga kali dalam setahun," katanya.
Dikatakan Hayyi, keuntungan menggunakan campuran pupuk organik dapat mendukung program penghijauan. Alasannya, kandungan pupuk tersebut tidak memiliki unsur zat kimia yang dapat merusak tanah, sehingga lingkungan menjadi sehat.
Kendati demikian, kata dia, peningkatan harga pupuk urea bersubsidi yang berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pengelolaan lahan bisa memicu kekhawatiran petani di wilayah setempat. "Mungkin, pada saat HET pupuk urea subsidi jadi dinaikkan sekitar bulan April 2010 mendatang secara otomatis peningkatan harga pengelolaan lahan berupa pembelian pestisida, dan biaya distribusi gabah akan ikut naik," katanya.
Untuk itu, pihaknya meminta peran serta pemerintah setempat dalam mendorong kegiatan sosialisasi penggunaan pupuk majemuk agar paradigma petani terhadap penggunaan pupuk urea dapat berubah. "Kami berharap pemerintah dapat mengubah paradigma petani agar beralih menggunakan pupuk majemuk dan organik melalui sosialisasi," katanya.
Secara terpisah, Hilaludin Yusri (32), petani di Kecamatan Babelan menduga upaya pemerintah menaikan harga pupuk bersubsidi untuk meningkatkan pendapatan ekspor negara. "Sebab bila pupuk tersebut di ekspor, tentu harga jualnya relatif lebih tinggi," katanya.
Bila hal itu benar, kata dia, tentu akan sangat merugikan petani yang saat ini masih membutuhkan penggunaan pupuk urea. "Idealnya, pemerintah boleh melakukan langkah ekspor bila persediaan pupuk di tanah air masih mencukupi," katanya.
Kendati demikian, Hilal mengaku sepakat menggunakan pupuk majemuk sebagai langkah antisipasi penggunaan pupuk urea. "Dari pengalaman saya, pupuk majemuk cukup berhasil dalam meningkatkan hasil panen padi. Sebab di dalamnya masih ada kandungan ureanya dan telah dicampur dengan sejumlah suplemen lainnya," kata Hilal. (AFR/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010