"Saya menghormati nota pembelaan terdakwa. Semoga dari nota pembelaan terdakwa kemarin aparat penegak hukum bisa membongkar secara terang-benderang kasus korupsi Jiwasraya," kata Boyamin dalam pernyataannya, di Jakarta, Rabu.
Boyamin mengaku hormat atas sikap mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) periode 2008-2018 itu yang mulai berani membongkar penyebab kerugian Jiwasraya dan negara, dalam nota pembelaan yang dibacakannya di persidangan, Selasa (29/9) lalu.
Dalam nota pembelaannya, Hary Prasetyo mengakui bahwa dirinya bersama mantan Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, telah melakukan manipulasi laporan keuangan atau "window dressing" sejak pertama kali ditunjuk sebagai pimpinan Jiwasraya pada 2008 silam.
Upaya manipulasi laporan keuangan tersebut, kata Hary, dilakukan atas sepengetahuan jajaran Kementerian BUMN selaku pemegang saham dan pejabat Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) yang kini bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menyusul pernyataan Hary Prasetyo di dalam nota pembelaannya, Boyamin berharap terdakwa lainnya, yakni Syahmirwan juga mengungkapkan fakta yang sebenarnya di dalam nota pembelaan yang juga dibacakan pada persidangan kemarin.
Namun, ketika mendengar isi pledoi yang dibacakan Syahmirwan, Boyamin menilai tidak masuk di akal jika dikatakan penyebab masalah Jiwasraya adalah kebijakan yang diambil direksi baru periode 2018-2023.
Sebab, kata dia, sejak Hendrisman dan Hary Prasetyo dicopot dari kursi pimpinan, jajaran Kementerian BUMN telah melakukan pergantian direksi sebanyak tiga kali.
Mulai dari Muhammad Zamkhani pada Januari 2018. Disusul, Asmawi Syam pada Mei 2018 yang mulai berlaku efektif pada Agustus 2018. Terakhir, Hexana Tri Sasongko pada November 2018 yang baru efektif pada Januari 2019.
"Pergantian-pergantian ini menunjukkan bahwa saat itu pemerintah sudah mengetahui kondisi Jiwasraya yang sesungguhnya. Saya yakin jika terdakwa masih di Jiwasraya, tentunya Jiwasraya akan jebol dan gagal bayar juga," ungkap pria yang menjadi pelapor atas kasus korupsi di Jiwasraya itu.
Produk berskema Ponzi
Selain praktik "window dressing", Boyamin menilai faktor yang menyebabkan Jiwasraya memiliki ekuitas negatif hingga Rp37,6 triliun per Juli 2020 juga dilatarbelakangi oleh adanya produk-produk asuransi dengan bunga pasti yang tinggi, di antaranya produk JS Proteksi Plan yang diketahui memiliki bunga pasti mulai dari 7-10 persen net per tahun.
Masalah pun semakin bertambah, lanjut dia, ketika manajemen lama menempatkan portofolio investasi Jiwasraya pada saham-saham berkualitas rendah, baik secara langsung atau dibungkus dengan reksadana milik terdakwa lainnya yakni Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat.
Akibatnya, pada saat nasabah ingin mencairkan dananya, kata dia, manajemen Jiwasraya sudah tidak memiliki aset yang likuid untuk menutup klaim yang besar tersebut, sementara aset likuid yang selama ini dimiliki Jiwasraya telah habis karena tren pencairan klaim atas JS Proteksi Plan telah menunjukkan peningkatan yang signifikan sejak awal 2017.
"Dan sudah menjadi fakta bahwa Jiwasraya sudah megap-megap sejak 2017. Saat itu juga sudah banyak nasabah yang mencium bahwa JS Proteksi Plan masuk dalam kategori ponzi," jelas Boyamin.
Setelah tidak memiliki aset yang likuid, melalui Direktur Utama Jiwasraya saat itu, Asmawi Syam mengumumkan gagal bayar dalam surat bertanggal 15 Oktober 2018 kepada nasabah.
"Dan pengumuman itu memang harus diungkap ke publik oleh manajemen baru untuk menenangkan nasabah yang polisnya jatuh tempo," tutup Boyamin.
Baca juga: Kementerian BUMN akan bayar dana nasabah PT Jiwasraya akhir Maret
Baca juga: Mantan Dirkeu PT Asuransi Jiwasraya diperiksa Kejagung
Baca juga: Kejagung nyatakan berkas perkara 5 tersangka korupsi Jiwasraya lengkap
Baca juga: Komisaris utama PT TRAM Heru Hidayat didakwa lakukan pencucian uang
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020