"Subak abadi untuk menghindari peralihan fungsi lahan pertanian yang kini sulit dikendalikan," kata dosen senior Fakultas Pertanian Unud itu di Denpasar, Sabtu.
Ia mengatakan, lahan pertanian yang beralih fungsi untuk berbagai kepentingan di Bali setiap tahunnya mencapai 750 hektar dan itu sudah berlangsung dalam beberapa tahun belakangan.
Untuk mengendalikan peralihan fungsi lahan perlu segera menetapkan kawasan subak abadi di tempat-tempat yang strategis di delapan kabupaten dan satu kota di daerah ini, agar ketahanan pangan Bali terpelihara, selain demi kepentingan pengembangan pariwisata, kesejahteraan petani, ilmu pengetahuan dan terpeliharanya warisan budaya.
Pemerintah pada kawasan-kawasan subak abadi itu perlu memberikan keringanan, bahkan bebas dari pajak bumi dan bangunan (PBB), sehingga petani bergairah mempertahankan lahan garapannya.
Ia mengingatkan, peralihan fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali menyebabkan eksistensi kebudayaan agraris terancam keselamatannya, sehingga berpengaruh buruk pada upaya pengembangan, penggalian dan pelestarian seni budaya Bali.
"Jika subak di Bali sirna, maka kebudayaan Balipun bisa hancur, sekaligus Bali gagal mempertahankan ketahanan pangan," ujar Windia.
Dalam pengembangan pertanian di Bali, subak itu sangat penting dan tidak bisa digantikan oleh lembaga lain.
Nilai-nilai Tri Hita Karana tercermin dalam budidaya padi oleh anggota subak, yakni subak memiliki peran sebagai penyangga ketahanan pangan, sekaligus mendukung kelestarian lingkungan di Pulau Dewata.
Oleh sebab itu pembangunan sektor pertanian di Bali dalam lima tahun mendatang menitikberatkan sistem ketahanan pangan berbasis pada kemampuan produksi, diversifikasi pangan, kelembagaan dan budaya lokal.
Kebijakan pemerintah tersebut sekaligus mendorong agribisnis yang berorientasi global dengan mengembangkan produk unggulan yang mampu memenangkan persaingan, demikian Windia.(*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010