Pandemi COVID-19 yang mengharuskan lebih banyak umat untuk beribadah di rumah mestinya menjadikan alasan toleransi antarumat beragama makin tebal.
Jakarta (ANTARA) - Toleransi di bumi Pancasila pernah menjadi urat nadi yang menandakan detak sebuah bangsa hidup di atas fondasi tepa salira.
Sayangnya, seiring dengan zaman berganti, toleransi seakan menjadi benda mati yang menjadi begitu mahal diperdagangkan karena langka di pasaran.
Toleransi seperti menjelma menjadi sebaliknya. Ketika pelarangan bahkan persekusi hingga penggangguan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di bumi pertiwi kemudian belakangan terakhir makin marak terjadi.
Pandemi COVID-19 yang mengharuskan lebih banyak umat untuk beribadah di rumah mestinya menjadikan alasan toleransi antarumat beragama makin tebal. Nyatanya aksi-aksi intoleransi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan hampir tiap saat terjadi.
Baca juga: Akademisi ingatkan pentingnya pendidikan toleransi
Founder & CEO Christian School Of Culture, Politics & Economics (CHRISPOL) Horas Sinaga mempertanyakan semangat Bhinneka Tunggal Ika dan nilai-nilai luhur Pancasila yang makin terasa luntur dari segenap jiwa masyarakat Indonesia.
Ia pun menyarankan penanaman kembali nilai-nilai Pancasila dalam sebuah pendidikan karakter kepada generasi muda di Tanah Air.
Seakan tak ingin menorehkan luka lama. Namun, kejadian-kejadian intoleransi kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi berpusat dari SKB dua menteri yang akan selalu menjadi underlying para oknum intoleran.
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri terkait dengan pendirian rumah ibadah agaknya perlu dilihat kembali agar tidak menjadi sumber dari persoalan yang mengatasnamakan intoleransi dalam beragama.
Horas Sinaga yang juga adalah Ketua Umum Visi Indonesia Unggul itu mengusulkan agar ada evaluasi dan review terhadap SKB dua menteri tersebut untuk kemudian menemukan jalan tengah terbaik demi terciptanya toleransi yang sejatinya merupakan akar budaya bangsa ini.
Baca juga: Wapres Ma'ruf Amin berharap Unika Atma Jaya utamakan toleransi
Polemik Intoleransi
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam berbagai kesempatan mengemukakan bahwa pihaknya membuka peluang untuk membahas kembali atas revisi SKB dua menteri mengenai pendirian rumah ibadah.
SKB itu, menurut Tito, memang menjadi salah satu akar masalah mengapa masih saja muncul polemik intoleransi di daerah.
Ia sempat mengatakan akan melihat kembali plus minus dalam SKB tersebut dan lebih jauh akan membicarakannya dengan berbagai pihak terkait.
Di sisi lain, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi menyatakan bahwa pihaknya sedang mengkaji peningkatan status SKB dua menteri soal pendirian rumah ibadah menjadi peraturan presiden (perpres).
SKB dua menteri itu memiliki nama resmi Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Bergama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
"PBM ini kembali dibahas dalam kerangka meningkatkan statusnya menjadi peraturan presiden (perpres)," kata Zainut.
Ketentuan yang paling kontroversial dari SKB ini adalah pasal 14 soal izin pendirian rumah ibadah. Mesti ada minimal 90 nama umat pengguna rumah ibadah itu yang disahkan pejabat setempat, kemudian mendapat dukungan paling tidak 60 warga setempat.
Banyak pihak menggantungkan harapan bahwa ketentuan tersebut bukan justru memicu timbulnya polemik intoleransi di tengah nilai-nilai Pancasila yang diamalkan dan diyakini kesaktiannya.
Baca juga: Ketua Komisi Dakwah MUI: Selesaikan konflik lewat dialog dan toleransi
Janji Pemerintahan
Kesaktian Pancasila yang makin diyakini oleh bangsa ini dibangun di atas berbagai janji dari pemerintahan yang silih berganti.
Namun, sebagai tonggak sejarah, nilai-nilainya menjadi prinsip yang tak pernah tergantikan dan tak beranjak dari garis sang pendiri republik.
Janji pemerintahan menjadi satu hal yang patut untuk kembali dipertanyakan dalam bermuamalah sebagai anak bangsa. Pemerintahan Joko Widodo dalam satu janjinya saat kampanye menyatakan akan menghapus seluruh regulasi yang melanggar hak asasi manusia (HAM).
Salah satu yang dilihat ketika itu adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
Peraturan tersebut dinilai tidak memberikan peluang bagi kaum minoritas untuk dapat menjalankan ketentuan agamanya secara lebih adil.
Baca juga: Tokoh Agama: Perlu komitmen calon pemimpin rawat toleransi antaragama
Klausul peraturan yang menyebutkan "dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang" untuk mendirikan rumah ibadah dianggap diskriminatif bagi penganut agama minoritas di suatu wilayah.
Faktanya, tidak mudah mengumpulkan tanda tangan 60 orang untuk mendapatkan izin pendirian rumah ibadah. Apalagi, jika yang diminta tanda tangan adalah warga yang agamanya berbeda dengan pihak yang akan mendirikan rumah ibadah.
Di sisi lain, fakta yang juga harus menjadi perhatian saat ini adalah maraknya adu domba dari oknum-oknum tak bertanggung jawab yang mencoba memecah belah kerukunan antarumat beragama.
Oleh karena itu, toleransi menjadi satu hal yang mendesak untuk dihadirkan kembali di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara di negara yang berkesaktian Pancasila ini.
Kementerian Agama (Kemenag) sebelumnya sempat merilis indeks kerukunan beragama (KUB) sepanjang 2019. Indeks ini menunjukkan rata-rata nasional pada poin 73,83 dari rentang nol—100, atau dalam kategori tinggi.
Baca juga: Arsitektur (Hindu) Bali di Masjid Al-Hikmah Soka-Denpasar
Sayangnya indeks KUB 2019 yang tercatat lebih tinggi jika dibandingkan 2018 sebesar 70 itu, cukup melorot jika dibandingkan 2015 sebesar 75,36.
Sebuah pekerjaan rumah bersama bagi bangsa ini agar lebih dapat menerapkan toleransi.
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020