Oleh Rahmad NasutionBrisbane (ANTARA News) - Indonesia kini terseret ke pusaran konflik tak berkesudahan antara Jepang dan Australia dalam masalah perburuan ikan paus di perairan Laut Selatan (Antartika) setelah pihak berwenang di Surabaya, Jawa Timur, pekan ini menolak kedatangan kapal "Yushin Maru No.2" untuk mendapatkan perbaikan di kota itu.Penolakan Indonesia terhadap kapal penangkap paus Jepang yang berupaya mencari pelabuhan terdekat untuk memperbaiki baling-balingnya yang diduga rusak akibat bongkahan es tebal Laut Selatan Desember 2008 itu disambut hangat kalangan anti-perburuan Paus Australia.Kelompok "Sea Shepherd Conservation Society" (SSCS)" yang merupakan salah satu "musuh bebuyutan" kapal-kapal penangkap paus Jepang di perairan Antartika menyebut penolakan Indonesia itu sebagai "kekalahan memalukan" bagi Jepang.Berbagai pihak di Australia, seperti Partai Hijau Australia, walikota Fremantle-Australia Barat, dan mantan menteri linkungan hidup Australia yang juga juru bicara SSCS, Ian Campbell, sempat menyurati beberapa pihak terkait di Indonesia sehubungan dengan upaya "Yushin Maru No.2" mencari perbaikan di Surabaya.Walikota Fremantle, Peter Tagliaferri, dalam suratnya kepada Walikota Surabaya Bambang Dwi Hartono misalnya terang-terangan berharap Pemkot Surabaya agar tidak mengizinkan perbaikan "Yushin Maru No.2" di sana, sehingga kapal tersebut tidak bisa segera kembali ikut berburu paus di Laut Selatan. Kerusakan baling-baling kapal penangkap paus Jepang itu tidak dapat dilepaskan dari upaya pengejaran yang dilakukan kapal "Steve Irwin" milik SSCS 20 Desember lalu.Seperti disampaikan Nakhoda kapal "Steve Irwin", Paul Watson, dalam pernyataan pers SSCS yang diperoleh ANTARA di Brisbane, Minggu, baling-baling "Yushin Maru No.2" rusak akibat terkena bongkahan es setelah berupaya melepaskan diri dari pengejaran pihaknya. Dalam pengejaran itu, kapal "Yushin Maru No.2" lari ke arah utara, tempat kondisi bongkahan es di sana lebih berat, sedangkan pihaknya menghentikan pengejaran dan berbelok ke selatan, kata Watson.Kerusakan baling-baling itu berakibat pada berkurangnya kecepatan laju kapal pemburu paus Jepang itu menjadi hanya 7,5 knot dari kondisi normal 21 knot. "Untuk mencapai Surabaya kapal ini harus berlayar selama 16 hari," katanya.Pertarungan lamaSejarah pertarungan kapal "Steve Irwin" dengan "Yushin Maru No.2" di perairan Laut Selatan sudah berlangsung sejak setahun terakhir.Pada 15 Januari 2008, dua aktivis SSCS, Benjamin Potts (29) dan Giles Lane (36), bahkan sempat "ditahan" di atas kapal "Yushin Maru No.2" sekitar tiga hari setelah keduanya melakukan protes dengan naik ke geladak kapal pemburu paus Jepang.Drama penahanan aktivis berkebangsaan Australia dan Inggris itu berakhir 18 Januari 2008 setelah nakhoda "Yushin Maru No.2" bersedia menyerahkan mereka ke kapal "Oceanic Viking" milik Bea Cukai Australia untuk kemudian dikembalikan ke kapal "Steve Irwin".Pelepasan kedua aktivis SSCS yang dituding pihak "Yushin Maru No. 2" sebagai "perampok modern" itu tidak dapat dilepaskan dari pendekatan diplomasi dan negosiasi alot unsur pemerintah Australia dan Jepang.Dalam masalah perburuan paus di Laut Selatan, pemerintah Jepang berpandangan bahwa aktivitas kapal-kapalnya sah secara hukum internasional karena dilakukan di perairan tak bertuan dan untuk tujuan riset.Sebaliknya, pemerintah Australia memandang perburuan paus untuk tujuan riset ilmu pengetahuan yang selama ini diklaim Jepang tidak lebih dari sekadar "pembunuhan paus".Bagi pemerintah Australia, kegiatan pengembangan penelitian tentang paus bisa dilakukan tanpa membunuh jenis mamalia ini. Setiap tahunnya, Jepang diklaim berbagai pihak di Australia berupaya memburu ratusan ekor paus jenis "minke" dan puluhan ekor paus jenis "humpback" dan "fin". Perbedaan sikap yang sangat mendasar dalam soal perburuan paus itu telah menjadi "kerikil dalam sepatu" hubungan Australia-Jepang selama bertahun-tahun dan Indonesia kini terseret ke dalam pertarungan keduanya. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2009
Nuwun
kepada Yushin Maru No.2 mari sini saya punya pelabuhan di tasikmalaya
bagai mana dgn riset yg d lakukan dgn manusia? apakah juga demikian?