Semarang (ANTARA News) - Plagiarisme atau penjiplakan hasil karya orang lain masih menjadi persoalan serius di perguruan tinggi (PT), karena tidak mudah untuk mengetahui apakah suatu karya adalah plagiarisme atau bukan.

"Seketat apapun pengawasan yang dilakukan terhadap suatu karya ilmiah, tetap ada kemungkinan hasil plagiarisme lolos," kata Rektor Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Prof Yohannes Budi Widianarko di Semarang, Rabu.

Menurut dia, plagiarisme selama ini susah dideteksi, sebab hanya diketahui oleh penulis yang bersangkutan atau saksi korban plagiarisme. Namun hal itu terjadi seandainya saksi korban tahu dan melaporkan karya itu.

Ia mengatakan, kasus plagiarisme secara sederhana ditemui dalam kehidupan mahasiswa, yakni saat mengerjakan tugas. Mereka biasanya langsung mencomot artikel dari buku atau internet tanpa menyebutkan sumbernya.

"Hal itu juga termasuk plagiarisme, meskipun plagiarisme terbagi dalam beberapa tingkatan, misalnya plagiarisme mutlak yang menjiplak seluruh karya orang lain atau mengambil beberapa bagian saja," katanya.

Akan tetapi, kata dia, pihaknya tetap optimistis bahwa plagiarisme dapat dicegah dan diantisipasi, salah satunya dengan melakukan pengetatan pemeriksaan hasil karya tulis yang diajukan.

"Para dosen harus melakukan kembali cara tradisional, yakni membaca dan meneliti dengan seksama hasil karya tulis mahasiswa secara keseluruhan, tidak di`scan` lalu selesai," katanya.

Meskipun sudah dilakukan pengetatan, kata dia, plagiarisme masih dimungkinkan lolos, sehingga sikap disiplin, sadar diri, dan bangga terhadap hasil karya sendiri harus diterapkan kepada seluruh pihak.

"Negara-negara maju, seperti Belanda telah mengadopsi `software` khusus untuk mendeteksi plagiarisme, dan unsur plagiarisme ditoleransi maksimal 10 persen, lebih dari itu secara otomatis karya akan tertolak," katanya.

Penerapan sanksi, kata dia, sebenarnya juga cukup ampuh untuk mencegah plagiarisme, misalnya sanksi yang diberikan kepada dosen atau pengajar yang melakukan plagiarisme, tentunya tergantung kadar plagiarisme yang dilakukan.

"Pencabutan gelar profesor misalnya, adalah sanksi yang terberat, namun yang berhak mencabut gelar itu adalah Menteri Pendidikan Nasional, bukan pihak universitas. Universitas hanya berhak merekomendasikan pencabutan gelar itu," katanya.

Sementara itu, Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), Prof Sudijono Sastroatmodjo mengatakan, pihaknya telah melakukan penyaringan terhadap calon guru besar untuk mengantisipasi terjadinya plagiarisme.

Menurut dia, apabila sampai ditemukan berkas calon guru besar yang mencatut hasil karya orang lain, dapat dipastikan berkas yang bersangkutan tidak akan dilanjutkan prosesnya atau ditunda.

"Indikator yang dilakukan untuk menilai seorang guru besar bukan hanya sekadar formalitas, namun guru besar itu harus benar-benar melakukan sesuatu untuk institusi dan masyarakat," kata Sudijono.

(U.PK-ZLS/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010