Jakarta (ANTARA) - Perjanjian damai Uni Emirat Arab (UAE) dan Bahrain dengan Israel kembali memantik pertanyaan apakah sikap Arab yang melunak dapat jadi harapan baru bagi perdamaian di Timur Tengah, atau justru jadi bumerang yang melemahkan perjuangan Bangsa Palestina untuk merdeka?

UAE dan Bahrain membuka hubungan diplomatik dengan Israel setelah menandatangani perjanjian perdamaian, Abraham Accords, ​​​secara resmi di Gedung Putih, Amerika Serikat, pada 15 September 2020, yang disaksikan langsung oleh Presiden AS Donald Trump. ​​​​

UAE dan Bahrain menambah daftar negara di Teluk Arab yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel, setelah Mesir dan Yordania.

Bagi Presiden Trump, yang mengusung “Perjanjian Abad Ini sebagai solusi untuk konflik Israel dan Palestina", normalisasi itu merupakan salah satu pencapaian kerja diplomasi AS di Timur Tengah.

Trump mengatakan sedikitnya ada enam negara Teluk yang akan mengikuti jejak Bahrain dan Uni Emirat Arab, tanpa menyebut negara-negara yang dimaksud.

Bagi Palestina, normalisasi itu tidak terlalu mengejutkan karena UAE dan Bahrain telah menjalin banyak hubungan dagang sebelum mereka membuat kesepakatan normalisasi hubungan dengan Israel.

Misalnya sejak 2005, Bahrain telah mencabut boikot terhadap produk dan perusahaan Israel sebagai ganti atas perjanjian pasar bebas dengan Amerika Serikat, sementara Uni Emirat Arab telah membangun hubungan diplomatik “tak resmi” setidaknya sejak 2015.

Israel lima tahun lalu juga mengumumkan pihaknya akan membuka kantor perwakilan di Uni Emirat Arab.

Baca juga: Israel, UAE, Bahrain tanda tangani kesepakatan, jalin hubungan formal

Walaupun demikian, pejabat pemerintah UAE dan Bahrain meyakinkan komunitas Muslim dunia bahwa normalisasi itu bukan tanda bahwa mereka meninggalkan rakyat Palestina dan perjuangan mereka untuk merdeka.

Bagi dua negara itu, perjanjian hubungan diplomatik dengan Israel justru jadi tonggak baru dalam menciptakan perdamaian yang lestari antara Israel dan Palestina melalui solusi dua negara/two-state solution.

Berbeda dari sikap resmi yang disampaikan UAE dan Bahrain, sejumlah pemikir-cum-aktivis asal Palestina, antara lain Salem Barahmeh dan Yara Hawari, melihat normalisasi hubungan diplomatik dan perjanjian damai itu tidak akan mengubah status quo saat ini di Palestina, yaitu praktik penjajahan dan politik apartheid –praktik diskriminasi berdasarkan kebangsaan/ras yang dilakukan Israel terhadap Bangsa Palestina.

Yara Hawari, analis kebijakan senior di Al Shabaka –lembaga kajian independen di Palestina, mengatakan normalisasi itu luput mengakui adanya praktik penjajahan dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang saat ini dialami Bangsa Palestina.

Lewat wawancara minggu lalu bersama Sky News, stasiun televisi asal Inggris, Yara Hawari mengatakan Palestina tidak dapat bergantung pada negara-negara yang menyebut diri mereka sebagai sahabat, atau mitra, atau sekutu.

“Rakyat Palestina tidak dapat lagi mengandalkan negara-negara yang menyebut diri mereka sebagai sahabat dan harus memikirkan kembali bagaimana cara menempatkan perjuangan mereka terhubung dengan perjuangan lain di berbagai negara dunia,” kata Yara, sebagaimana disaksikan dari rekaman wawancara dengan Sky News yang tayang pada 15 September 2020.

Menurut dia, upaya mendamaikan Palestina dan Israel harus beranjak dari pengakuan bahwa adanya dominasi satu negara sebagai realitas saat ini di Yerusalem dan Tepi Barat.

“Menurut saya, yang harus kita lakukan saat ini adalah mengakui bahwa ada dominasi satu negara dan politik apartheid yang masih dipraktikkan (oleh Israel terhadap rakyat Palestina, red) sampai hari ini. Kita harus menerima kenyataan itu sebagai titik awal perundingan, bukan sebagai masa depan atau solusi akhir dari konflik,” ia menerangkan.

Baca juga: Palestina sebut kesepakatan Israel - UAE "pengkhianatan"

Sependapat dengan pemikiran Hawari, Direktur Eksekutif Palestine Institute for Public Diplomacy Salem Barahmeh pekan lalu mengatakan normalisasi hubungan dengan Israel itu tidak sejalan dengan perjuangan rakyat Palestina yang menghendaki kemerdekaan, salah satunya bebas dari pendudukan militer tentara Israel.

Pendapatnya itu itu tidak jauh berbeda dengan pernyataan yang ia sampaikan pada medio Juli 2020 dalam sebuah diskusi virtual yang diadakan oleh Foundation for Middle East Peace.

Barahmeh mengatakan kenyataan yang dihadapi Bangsa Palestina saat ini adalah dominasi penuh Israel terhadap sebagian besar wilayah, yang menjadi tanah air Bangsa Palestina.

Otoritas Israel, menurut Barahmeh, mengontrol kebebasan masyarakat Palestina di wilayah pendudukan, menghalangi pemenuhan terhadap hak mendasar seperti kebebasan berekspresi, berpendapat, bahkan membatasi pergerakan masyarakat.

Diskriminasi karena alasan etnis, menurut dia, merupakan kenyataan sehari-hari yang dialami rakyat Palestina.

Posisi Indonesia

Dua hari setelah penandatanganan Abraham Accords, Pemerintah Indonesia memastikan posisinya dan bahwa dukungannya untuk Palestina tidak akan berubah, meskipun beberapa negara di Teluk mulai menunjukkan sikap yang lunak terhadap Israel.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Teuku Faizasyah, mengatakan Indonesia memahami niat UAE dan Bahrain yang ingin menyediakan ruang negosiasi dan mengubah pendekatan untuk menyelesaikan konflik Israel dan Palestina melalui perjanjian damai itu.

“Namun, efektivitas atas kesepakatan tersebut sangat bergantung pada komitmen Israel untuk menghormatinya,” kata Faizasyah saat jumpa pers virtual di Jakarta.

Sejauh ini, Pemerintah Indonesia konsisten mendukung kemerdekaan Palestina dan mengecam segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan hukum internasional yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina.

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, lewat rekaman video yang ditayangkan pada Sidang Umum ke-75 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 23 September 2020 mengatakan, “Palestina adalah satu-satunya negara yang hadir di Konferensi Bandung namun sampai sekarang belum menikmati kemerdekaannya, Indonesia terus konsisten memberikan dukungan bagi Palestina untuk mendapatkan hak-haknya”.

Baca juga: Presiden Jokowi tegaskan dukungan untuk Palestina di Sidang PBB

Konsistensi dan sikap tegas menutup hubungan diplomatik dengan Israel, menurut seorang pengamat Timur Tengah dan pengurus Nadhlatul Ulama, penting ditegaskan kembali oleh Indonesia demi mengimbangi lunaknya sikap negara-negara di Teluk terhadap Israel.

“Sikap firm (keras, red) masih penting untuk menyeimbangkan posisi yang tidak balance (seimbang, red) antara Israel dan Palestina. Ada banyak persoalan yang berkelindan terkait masalah ini. [...] Tetapi dalam waktu 15 tahun terakhir, dukungan negara-negara Arab terhadap Palestina melemah, saya khawatir perubahan sikap Bahrain dan UAE ini merupakan puncak dari lemahnya sikap negara-negara Arab dalam mendukung Palestina,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nadhlatul Ulama, Imdadun Rahmat, pada sebuah diskusi virtual yang diadakan Wahid Foundation, Sabtu (26/9).

Nadhlatul Ulama merupakan organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia.

Sepemikiran dengan Imdadun, pengamat Timur Tengah, Dina Sulaeman, juga mengatakan Indonesia tidak perlu mengikuti langkah beberapa negara Arab yang mulai melunak terhadap Israel.

Indonesia, menurut dia, juga tidak perlu menanggapi usulan sejumlah pihak yang mendorong normalisasi hubungan dengan Israel jika ingin menjadi mediator atau penengah konflik Israel dan Palestina.

“Saya tidak menyetujui adanya usulan membuka hubungan diplomatik resmi dengan Israel karena senjata kita satu-satunya nya adalah diplomatik [...],” kata Dina.

Ia juga menjelaskan bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo di Sidang Umum ke-75 Majelis Umum PBB merupakan upaya untuk menekan Israel agar menghentikan agresi militernya di Palestina, khususnya di Gaza dan Tepi Barat, yang telah berlangsung sejak 2006.

Baca juga: Keputusan UAE, Bahrain tak ubah posisi Indonesia tentang Palestina

Baca juga: Palestina gagal dapat dukungan Liga Arab untuk kecam UAE-Israel


Aneksasi Israel dan COVID-19 perparah kondisi rakyat Palestina

Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020