Di antara sekian banyak masalah dalam pengembangan EBT di Indonesia adalah terkait skema pendanaan, karena EBT ini kalah bersaing dengan energi fosil
Jakarta (ANTARA) - Kaukus Ekonomi Hijau DPR RI mengingatkan bahwa krisis yang ditimbulkan dari polusi udara bisa serupa wabah pandemi adibat penyakit COVID-19 sekarang ini.
Sekretaris Kaukus Ekonomi Hijau DPR Dyah Roro Esti dalam keterangannya di Jakarta, Minggu, mengatakan keduanya merupakan sesuatu yang tidak terlihat, namun terkategorikan sebagai silent killer.
Menurut dia, dengan adanya pandemi, manusia diingatkan beberapa krisis yang saat ini terjadi mulai dari sektor kesehatan, ekonomi, hingga sosial.
"Banyak yang harus dilakukan bersama untuk mengatasi krisis ini dan kolaborasi adalah kunci. Semua orang memiliki peran masing-masing, mulai dari parlemen sebagai pembuat kebijakan, pemerintah sebagai badan eksekutif, CSO, akademisi, dan lain-lain. Di Indonesia, kita mengenal istilah gotong royong yang berarti bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan," ujar Anggota Komisi VII DPR tersebut.
Roro Esti menyampaikan pandangan dan gagasannya itu dalam webinar internasional bertajuk "Raising Awareness Towards Pollution and its Impact to Human Health" yang digelar Kaukus Ekonomi Hijau DPR bersama Air Quality Asia (AQA).
Politisi muda Partai Golkar ini memaparkan bahwa kualitas udara sangat erat hubungannya dengan sektor energi sebagai salah satu kontributor terbesar terhadap peningkatan gas rumah kaca di Indonesia.
Oleh karena itu, dirinya bersama Anggota Komisi VII DPR lainnya berupaya memperjuangkan Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT).
"Di antara sekian banyak masalah dalam pengembangan EBT di Indonesia adalah terkait skema pendanaan, karena EBT ini kalah bersaing dengan energi fosil," katanya.
Menurut Roro Esti, perlu dilakukan upaya-upaya lain untuk mengatasi ini, yang salah satunya adalah menerapkan sistem pajak karbon (carbon tax).
"Gagasan ini ada dengan asumsi jika kita mempertimbangkan juga biaya eksternalitas lain dari bahan bakar fosil, seperti biaya kerusakan alam, biaya kesehatan, dan lain-lain, maka biaya kumulatif ini akan membuat bahan bakar fosil menjadi lebih mahal ketimbang EBT," ujarnya.
Alumni Imperial College London ini juga mengatakan Indonesia memiliki banyak potensi EBT seperti angin, solar, dan bioenergi, sehingga memungkinkan Indonesia melakukan transisi energi dan beralih kepada energi bersih dan terbarukan.
"Harapan besarnya, hal ini dapat secara keseluruhan memperbaiki kualitas udara di Indonesia," ujar Roro Esti.
Hadir dalam webinar antara lain Mercy Chriesty Barends, Ketua Komisi Ekonomi Hijau DPR; Harry Duynhoven, mantan Menteri Transportasi dan Energi Selandia Baru; Kurtz Kunz, Dubes Swiss untuk Indonesia; dan Barlev Nico Marhehe, Chief of Mission UNEP Indonesia.
Hadir pula Budi Susilironi, Direktur PureEarth; Vovia Witni, Program Officer dari Kalimantan Health & Pollution Action Plan; serta Anggota DPR yakni Budisatrio Djiwandono, Sartono Hutomo, Dave Akbarshah Fikarno, dan Ratna Juwita.
Kaukus Ekonomi Hijau DPR yang dibentuk sejak 2009, adalah kaukus parlemen lintas komisi dan fraksi dengan tujuan menciptakan masa depan Indonesia yang berkelanjutan melalui regulasi yang berwawasan lingkungan dan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara holistik.
Baca juga: Kaukus Ekonomi Hijau DPR dorong investasi energi terbarukan
Baca juga: RUU Energi Baru Terbarukan perlu fokus kepada harga sebagai insentif
Baca juga: Legislator: Perlu ada terobosan agar investor tertarik investasi EBT
Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020