Jakarta (ANTARA News) - "Saya terpaksa menikah lagi dengan seorang perempuan tetangga desa saya, karena pernikahan dengan istri kedua tidak dikarunia anak. Padahal saya menikah karena ingin punya anak. Sedangkan pernikahan saya dengan istri yang pertama sudah 10 tahun tidak memiliki keturunan,"
Alasan inilah yang menyebabkan Alengkah (75) warga Dusun Kramat, Desa Larangan Dalam, Kecamatan Larangan, Pamekasan, Madura, Jawa Timur, berpoligami, menikah lagi dengan perempuan lain.
Berbeda dengan pernikah Alengkah dengan istri pertama yang bernama Marfuah, pernikahan dengan istri keduanya Asbiyah, tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau dilakukan secara siri.
"Waktu itu biayanya terlalu mahal, dan saya tidak memiliki cukup uang untuk mendaftarkan di KUA, meski istri pertama saya tidak keberatan saya menikah lagi," kata Alengkah.
Alasan melakukan praktik poligami karena menginginkan keturunan dan pernikahannya secara siri karena terkendala biaya sebagaimana Alengkah ini bukan satu-satunya yang terjadi di Pamekasan. Namun banyak warga lain di daerah berbeda melakukan hal yang sama. Sebut saja, Muat.
Warga Kadur Pamekasan ini terpaksa mencatatkan pernikahannya ke KUA setempat, satu tahun kemudian, setelah istrinya Sudaipah mengandung anak pertamanya.
Buruh tani ini mengaku, selain karena faktor ekonomi, pandangan masyarakat sekitar desanya menyatakan, bahwa perkawinan sebenarnya cukup dilakukan oleh kyai, tanpa harus ke KUA.
"Kata orang-orang di sini dan guru ngaji saya, menikah ke kyai sama saja. Yang penting sah menurut agama," katanya.
Banyak faktor
Hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa strata 2 (S2) Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Malang asal Pamekasan, Mufassiroh, belum lama ini menyebutkan, ada beberapa faktor masyarakat melakukan nikah siri.
Selain faktor ekonomi, juga ada faktor sosial, pendidikan dan faktor agama.Dalam tesis berjudul, "Nikah Siri, Penyebab dan Pengaruhnya" itu disebutkan, dari empat faktor itu, yang dominan adalah faktor ekonomi.
"Jadi kebanyakan karena mereka memang tidak memiliki uang untuk membayar administrasi pernikahan di kantor KUA dan ini hampir terjadi di semua wilayah kecamatan di Pamekasan," terang Mufassiroh.
Di wilayah utara Pamekasan, justru ada sebuah kebiasaan dimana pencatatan nikah baru dilakukan setelah banyak warga melakukan pernikahan. "Minimal lima orang, lalu aparat desanya mendaftarkan ke pernikahan mereka itu ke KUA," tuturnya.
Namun, ada juga karena ketidak tahuan. Mereka, terang Mufassiroh menganggap pernikahan cukup dilakukan melalui seorang kiai.
"Kalau di bidang sosial, itu biasanya dilakukan karena terlalu lama bertunangan, sehingga orangtua kedua belah pihak memilih untuk menikahkan anaknya secara siri," paparnya.
Di kalangan masyarakat Madura, ada anggapan bahwa jika pasangan muda-mudi lama bertunangan dan sering melakukan pertemuan dengan pasangan mereka, itu berpotensi melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma agama, sehingga memilih untuk melakukan pernikahan, meskipun secara siri.
Dari 13 kecamatan yang diteliti oleh Mufassiroh yang kini menjadi dosen di Institute Dirosah Islamiah Al-Amien (IDIA) Prenduan, Sumenep tersebut, praktik nikah siri terbanyak di wilayah utara Pamekasan. Seperti di wilayah Kecamatan Batumarmar, Pegantenan dan Kecamatan Proppo.
Selain karena faktor ekonomi dan letak gografis yang jauh dari pusat kota, di tiga kecamatan itu, mayoritas penduduknya memang rata-rata berpendidikan rendah, sehingga ada anggapan bahwa pencatatan nikah kurang dianggap penting.
"Oleh karenanya, jika pemerintah memang akan melakukan pelarangan terhadap orang yang melakukan nikah siri, saya sangat setuju, tentunya dalam kontek tertib administrasi. Sebab fakta yang tentang nikah siri yang terjadi di Pamekasan adalah lebih pada persoalan ekonomi dan pengetahun masyarakat," Mufassiroh.
Kepastian hukum
Ketua umum korp HMI-Wati (Kohati) cabang Bangkalan, Madura, Betty Wirandini menyatakan, nikah siri harus tercatat resmi di lembaga pemerintah akan memberikan kepastian hukum bagi kaum perempuan.
Menurut pemahaman umum para ulama, kata Betty, menikah secara siri memang sah secara agama, namun hal itu juga bisa berdampak negatif terhadap kaum perempaun yang dinikahinya, jika di kemudian hari terjadi perceraian.
"Dari sisi agama, sebenarnya nikah siri itu sah-sah saja. Namun dari sisi kepastian hukum, nikah siri akan sangat merugikan kaum perempuan," katanya.
Sebab, sambung Betty, orang yang melakukan nikah siri akan dengan mudah meninggalkan istrinya, tanpa proses hukum, karena pada pelaksanaan pernikahan juga tanpa proses hukum, yakni tidak tercacat di Kantor Urusan Agama (KUA).
"Jika tercatat di KUA, proses perceraian khan harus melalui proses hukum, sehingga para suami tidak meninggalkan begitu saja istri dan anaknya," paparnya.
Oleh sebab itu, sambung Betty, rencana pelarangan nikah siri nantinya harus jelas, termasuk sanksi yang akan diberikan.
"Harus ada pengecualian yang jelas antara mereka yang melakukan nikah siri karena faktor ekonomi, atau karena ingin punya anak, dengan orang yang melakukan nikah siri yang hanya ingin mengumbar hawa nafsunya," kata Betty.
Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 itu memuat ketentuan pidana (Pasal 143-153), khususnya terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan ke empat, serta perceraian yang tanpa dilakukan di muka pengadilan.
Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta.
RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 Ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
Fakta yang selama ini terjadi, kata Betty Wirandini, pelaku nikah siri bukan hanya karena faktor ekonomi dan ingin mendapatkan keturunan atau anak saja, namun tidak sedikit di antara mereka itu yang melakukan nikah siri hanya karena ingin memiliki istri lebih dari satu.
Sebagian ulama di Madura, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tidak setuju, jika orang yang melakukan nikah siri harus dipidanakan sebagaimana dalam RUU Pernikahan yang kini sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010 itu.
Alasan mereka sangat mendasar, yakni nikah siri sah menurut agama. Namun para ulama ini juga tidak mau perempuan dan anak keturunan mereka menjadi korban, akibat pernikahan yang mereka lakukan tidak tercatat di KUA.
"Oleh karenanya saran saya harus ada kriteria yang jelas, orang yang nikah siri yang bagaimana yang harus dipidana. Sebab jika semua orang yang nikah siri dipidana," kata fungsionaris PCNU Bangkalan, KH Syarifuddin Daman Huri.(PK-ZIZ/A038)
Oleh oleh Abd Aziz
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010