Surabaya (ANTARA News) - Negara dianggap terlalu mencampuri urusan individu, sehingga persoalan pernikahan seseorang yang tidak substansial pun turut diatur. "Nikah itu bagian dari hak seseorang, untuk apa negara ikut-ikutan mengatur," kata pakar sosiologi komunikasi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Yayan Sakti Suryandaru, Minggu.
Menurut dia, soal pernikahan sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. "Sudah ada undang-undangnya, mengapa harus ada undang-undang baru lagi," kata pengajar hukum dan etika di Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Unair itu.
Ia melihat RUU Peradilan Agama yang di dalamnya mencakup sanksi hukum pidana bagi pelaku nikah siri itu diarahkan untuk para pejabat yang berpoligami.
"Kalau memang arahnya untuk menjerat pejabat atau pegawai negeri yang berpoligami, saya kira UU Nomor 1 Tahun 1974 sudah cukup," katanya.
Urusan pernikahan, katanya, menjadi hak individu setiap warga negara Indonesia sesuai dengan agama yang dianutnya.
Meskipun demikian, dia tidak melihat pembahasan RUU Peradilan Agama itu sebagai upaya untuk mengalihkan isu skandal Bank Century yang mengarah pada pemakzulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Saya tak melihat adanya pengalihan isu itu. RUU itu sudah lama ada, hanya ketika ada polemik soal nikah siri, baru sekarang ramainya," katanya.
Ia menganggap polemik yang menjadi sorotan publik karena maraknya pemberitaan di media massa itu menggelinding secara wajar.
Tidak hanya RUU Peradilan Agama, saat ini juga marak polemik rancangan peraturan menteri (RPM) tentang konten media yang sekarang digodok di Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Demikian halnya dengan RUU Penodaan Agama. "Jadi, polemik itu bukan sebuah upaya dari penguasa untuk mengalihkan isu sentral tentang skandal Bank Century," katanya.(T.M038/A038)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010