Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), M Jasin menegasakan, KPK bisa meneruskan penanganan kasus imbalan (fee) dari Bank Pembangunaan Daerah (BPD) kepada pejabat negara ke tahap penindakan tindak pidana korupsi jika pihak yang diduga terkait tidak kooperatif selama proses pencegahan.
"Kami tidak bluffing (menggertak). Menurut perspektif saya, kalau memang tidak diindahkan, kita bisa naikkan ke penindakan," kata Jasin ketika ditanya wartawan di Jakarta, Jumat.
Jasin yang membidangi pencegahan tindak pidana korupsi itu menegaskan, KPK sudah memiliki data nama-nama pejabat yang menerima imbalan dari BPD. KPK bisa meneruskan upaya pencegahan itu ke tahap penindakan tindak pidana korupsi jika para pejabat tidak kooperatif.
Menurut dia, pemberian imbalan semacam itu termasuk dalam kategori gratifikasi. Jasin menjelaskan, tidak ada aturan yang membolehkan pejabat menerima imbalan dari bank. Dia meminta semua pejabat, baik di pusat maupun daerah, untuk segera mengembalikan pemberian semacam itu kepada negara.
Menurut Jasin, masalah ini adalah masalah besar karena terjadi hampir di semua daerah. Untuk itu, pimpinan KPK sudah menggelar masalah itu dalam rapat pimpinan.
Jasin menegaskan, imbauan yang disampaikan KPK bukan hanya ditujukan bagi pejabat daerah. Berdasar temuan KPK, sejumlah pejabat pemerintah pusat juga menerima imbalan dari bank.
"Ada pejabat pusat yang menerima. Banknya tidak hanya BPD juga," kata Jasin.
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menguatkan pendapat Jasin. BPK menemukan bahwa gratifikasi terjadi hampir di seluruh Indonesia. Hal itu sudah disampaikan kepada KPK ketika pejabat kedua instansi itu membicarakan temuan tentang imbalan kepada pejabat daerah dari sejumlah bank dan temuan honor pejabat di luar gaji resmi.
Anggota BPK, Sapta Amal menegaskan, BPK telah melakukan penelitian awal tentang pemberian berbagai imbalan kepada pejabat negara di daerah.
Penelitian itu dilakukan dengan bekerjasama dengan Kementerian Dalam negeri. "Perwakilan BPK di daerah juga mulai mencermati pemda," kata Sapta.
Sementara itu, KPK dan Bank Indonesia (BI) sepakat menyusun mekanisme pengembalian berbagai bentuk imbalan yang diberikan oleh beberapa BPD kepada sejumlah pejabat daerah.
"Kami sedang menyusun mekanisme pengembalian tersebut," kata Wakil ketua KPK, Haryono.
Haryono menjelaskan, mekanisme pengembalian itu akan dirumuskan oleh tim teknis yang dibentuk bersama oleh KPK dan BI.
Namun, Haryono tidak menyebut tenggat waktu pengembalian imbalan yang diterima sejumlah pejabat daerah.
KPK dan BI sejak awal telah mengidentifikasi penempatan keuangan daerah di enam BPD.
Keenam BPD itu adalah BPD Sumatera Utara (Rp53,811 miliar), BPD Jabar Banten (Rp148,28 miliar), BPD Jawa Tengah (Rp51,064 miliar), BPD Jawa Timur (Rp71,483 miliar), BPD Kalimantan Timur (Rp18,591 miliar), Bank DKI Jakarta (Rp17,075 miliar).
KPK menemukan sejumlah pejabat daerah menerima imbalan atas penempatan dana itu. Imbalan yang diterima berupa uang, paket perjalanan wisata, perangkat golf, dan sebagainya.
Haryono menegaskan, KPK dan BI akan terus melakukan upaya pencegahan dalam kasus itu. Rencananya, upaya pencegahan itu tidak hanya dilakukan terhadap enam BPD tapi juga terhadap bank-bank lain.
Sementara itu, Deputi Gubernur BI Mulyaman Hadad menjelaskan, BI dan KPK akan menindaklanjuti kesepahaman yang telah ditandatangani pada Mei 2009.
Kesepahaman itu tentang penyusunan mekanisme pengembalian imbalan, rekomendasi penghentian pemberian imbalan kepada pejabat, dan lanjutan pemeriksaan terhadap sejumlah BPD.
Mulyaman menegaskan, pihaknya telah mengirimkan surat kepada sejumlah bank umum, bank syariah, dan bank perkreditan rakyat untuk tidak memberikan imbalan kepada pejabat.
Bahkan, kata dia, BI dan KPK terus mendalami kasus itu, termasuk mengusut kemungkinan adanya tindak pidana korupsi (tipikor).
"Kami melakukan identifikasi, kira-kira apa yang perlu ditindaklanjuti, terutama kemungkinan area yang terkait dengan tipikor," katanya.
(F008/R009)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010