Jakarta (ANTARA News) - Maladewa, negara yang sedang ketakutan ditenggelamkan laut jika suhu bumi semakin memanas, menghimbau negara-negara besar untuk mengurangi emisi gas buang mereka yang memang menjadi penyulut pemanasan global.

Negara dengan rangkaian pantai berpasir di Samudera India yang terkenal dengan alam bawah laut dan resort-resort mewahnya itu, berencana menjadi negara netral karbon pada 2020 dengan beralih menggunakan energi terbarukan seperti angin dan matahari serta berharap bisa menarik investasi asing.

Berikut adalah hasil korespondensi elektronik dengan Presiden Maladewa Mohamed Nasheed, salah seorang pembicara terdepan dalam Konfrensi Internasional Perubahan Iklim di Kopenhagen, Desember 2009.

Tanya : Bisakah Maladewa diselamatkan?
Jawab : Negara saya memang berada dalam bahaya tetapi saya tidak percaya kalau kami telah dikutuk.

Jika seluruh dunia bersatu melawan polusi karbon dan bersama-sama mendukung pembangunan hijau, maka kita bisa mengontrol krisis iklim itu.

Akhir abad ini, para akar memperkirakan tinggi air laut akan mencapai tahap paling mengkhawatirkan, yaitu dua meter. Itu jika semua usaha kita gagal. Jika kita menangani masalah ini lebih baik, air laut naik tidak lebih dari semeter.

Kami bisa menyesuaikan diri dengan beberapa perubahan ini, bahkan jika sebagian dari seluruh pulau ini harus dievakuasi. Setiap negara merugi jika kita tidak mengontrol polusi karbon. Jadi di satu sisi kita semua adalah warga Maladewa.

Tanya
: Berapa yang harus dibayar untuk menjadi negara netral karbon? Ada yang memperkirakan dibutuhkan 1,1 miliar dollar AS untuk negara berpenduduk 310 ribu orang ini.
Jawab : Tidak ada yang bilang ini akan murah atau gampang. Kami sebenarnya sudah membayar banyak untuk mengimpor minyak yang digunakan untuk listrik. Kira-kira 300 ribu dolar AS per hari dengan harga 50 dolar per barel.

Kami mendorong sektor swasta untuk menanamkan banyak investasi di bidang infrastruktur. Bagi perusahaan swasta, berinvestasi di energi terbarukan, pembangkit listrik dari olahan sampah, atau skema penghematan energi akan mendatangkan keuntungan yang sehat selama bertahun-tahun.

Tetapi karena listrik tenaga angin dan matahari tidak stabil jadi kami membutuhkan dukungan yang lain, inilah tantangan terbesar kami.

Jika kami menggunakan teknologi biomas itu harus dari sumber yang berkelanjutan. Skenario terburuknya, jika kami harus menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel, maka kami harus sudah siap dengan meminimalisasi polusi yang ditimbulkan.

Tanya : Berapa banyak yang harus dibayar turis untuk pajak ekstra?
Jawab : Kami belum memmpunyai rencana untuk menarik pajak 'hijau' dari turis. Jika kami bisa menunjukkan bahwa meningkatkan netralitas karbon tidak saja mungkin, tetapi juga menguntungkan, maka negara-negara besar akan mengikutinya sehingga kita bisa mencapai kemajuan nyata dalam mengurangi polusi karbon.

Tanya : Menurut Anda, apakah Piagam Kopenhagen akhirnya akan menjadi dasar dari kesepakatan hukum baru yang mengikat?
Jawab : Terlalu cepat untuk mengatakan demikian, tetapi pastinya belum ada tanda-tanda baik menyangkut aspek hukum yang mengikat.

Dalam kasus lain, kita sebaiknya mempunyai perjanjian sebelum membuatnya mengikat secara hukum.

Protokol Kyoto mengikat secara hukum tetapi kontribusinya sangat sedikit dalam mengurangi emisi dan sebenarnya membuat beberapa permasalahan semakin berat dengan segala kerumitannya dan kekakuan pembagian antara negara maju dan berkembang.

Maladewa membuat banyak usaha di Kopenhagen untuk menyelamatkan kesepakatan terbaik yang mungkin dicapai.

Saat itu saya merasa kehancuran total akan menjadi hasil pertemuan itu. Tetapi akhirnya kita memperoleh satu piagam yang masih jauh dari kesempurnaan, tapi setidaknya sesuatu yang bisa kita bangun bersama.

Tanya : Apa harapan-harapan Anda di Konferensi Internasional Perubahan Iklim berikutnya di Meksiko, November mendatang?
Jawab : Ketakutan terbesar saya adalah satu kesepakatan yang ambisius dan mengikat akan selalu ditahan-tahan, lalu pembicaraan mengenai iklim mulai menyerupai negosiasi dagang, putaran perundingan tanpa akhir dengan sedikit kemajuan pada akhirnya.

Di Bali, semua orang berharap pada Kopenhagen. Sekarang setelah Kopenhagen orang-orang meletakkan harapan di Meksiko. Kita harus berhenti membodohi diri sendiri dengan mengatakan bahwa tindakan bisa ditunda sampai besok. (*)

sumber: Reuters
penerjemah: Liberty
editor: jafar

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010