Jakarta (ANTARA News) - Fahmi Shabana, pejabat tinggi dinas intelijen Otoritas Palestina (PA), telah memperingatkan kepemimpinan Palestina di Ramallah bahwa korupsi telah menggerogoti rezim PA sehingga harus diambil langkah-langkah efektif secepatnya untuk menghentikan gelombang korupsi itu.
Sayangnya, hanya sedikit pejabat pada hirarki politik PA yang mau menanggapi serius peringatan Shabana itu, tulis Khaled Amayreh dalam artikelnya untuk mingguan terkemuka Mesir, Al-Ahram, edisi 18 -25 Februari 2010.
Salah satu alasan utama mengapa peringatan Shabana ini diabaikan adalah bahwa praktik korupsi di Ramallah sudah merambah ke mana-mana, sehingga upaya pemberantasannya malah mendestabilisasi PA secara serius dan merusak citra publik saja.
Pekan lalu, Shabana, yang sampai kini ditugasi memimpin Departemen Antikorupsi di pemerintahan PA, mengumumkan pengungkapan serius yang membuat sejumlah pejabat PA menjadi tersangka dalam sejumlah prilaku kriminal, termasuk penyimpangan seksual, penggelapan uang, pelanggaran bisnis, nepotisme, favoritisme, suap, penyalahgunaan dana publik dan bermewah-mewahan.
Dalam satu wawancara dengan koran sayap kanan Israel, The Jerusalem Post, dan kemudian dengan Saluran 10 Televisi Israel, Shabana menyingkapkan dua kasus korupsi utama.
Dia mengungkapkan bahwa para pejabat Fatah telah menggelapkan sekitar 3,2 juta dolar AS dana sogokan dari AS kepada Fatah pada pemilu 2006.
Uang itu sedianya ditujukan untuk memperkuat citra Fatah dan menaikkan peluangnya memenangkan pemilu.
Sebagian diantaranya digunakan untuk menyogok kaum muda supaya memilih Fatah.
Cerita itu sudah menjadi rahasia umum di daerah-daerah pendudukan selama beberapa tahun. Namun demikian, karena tidak berfungsinya sistem keadilan di Palestina, khususnya sejak 2007, isu itu lambat laun menguap begitu saja.
Lagi pula, baik AS maupun donor-donor internasional lainnya tidak menganggap hal itu sebagai persoalan serius, yang penting itu tidak melukai Fatah, khususnya dalam hubungannya dengan Hamas yang ingin dilemahkan dan diasingkan dengan segala cara oleh AS dan sekutu internasional serta regionalnya.
Lebih terangnya, sudah jelas dari awal bahwa sejumlah pejabat senior PA yang terlibat korupsi adalah orang-orang terdepan dalam melawan Hamas, yang artinya jika mereka diumumkan kepada publik melakukan korupsi maka akan merusak cita-cita AS di kawasan itu.
"Beberapa dari pejabat paling senior Palestina bahkan tidak menyimpan dana 3.000 dolar AS di kantongnya ketika sampai di Ramallah. Tapi kini rekening bank mereka melonjak sampai puluhan juta, kalau tidak ratusan juga dolar AS," kata Shabana kepada TV Al-Jazeera, 14 Februari lalu.
"Jadi, saya harus bertindak dan berbicara secara terbuka, karena tidak ada seorang pejabat korup pun yang berhasil dibawa ke pengadilan karena mencuri uang rakyat," katanya.
Shabana menyebut Azzam Al-Ahmed, pemimpin terkemuka Fatah leader di Tepi Barat, bahwa dia dan saudaranya terlibat dalam penggelapan dana lebih dari 1,5 juta dolar AS.
Dia membicarakan proyek pembelian tanah yang luar biasa dan direkayasa harganya, di mana jutaan dolar AS lenyap pindah tangan ke para pejabat PA.
Pengungkapan penting lain yang diumumkan Shabana adalah rekaman video yang menunjukkan Rafik Husseini, kepada kantor kepresidenan, berbaring telanjang di sebuah apartemen di Ramallah bersama seorang wanita tak dikenal asal Jerusalem Timur.
Wanita itu, menurut sejumlah sumber, sedang berupaya mendapatkan pekerjaan di kantor kepresidenan. Jadinya cerita itu menjadi contoh klasik dari perdagangan seks secara terselubung.
Husseini belum berhubungan seks dengan wanita itu karena Shabana dan pasukannya keburu menyerbu kamar di apartemen itu beberapa menit sebelum kencan dua orang berlainan jenis itu berlanjut ke tindakan lebih jauh.
Di bagian lain rekaman itu, Husseini terdengar mengucapkan sesuatu, "Presiden Abbas tidak memiliki kharisma dan tidak mengendalikan apa-apa".
Dia juga menyebut mendiang pemimpin Palestina Yasser Arafat sebagai "dajjal besar" yang berarti tukang bohong dan tukang sulap.
Karena terguncang dan malu luar biasa setelah pengungkapan itu, para pejabat PA bereaksi berlebihan dengan menembakkan tuduhan-tuduhan klasik yang menunjukkan kegugupannya dengan menyebut Shabana sebagai salah satu nama dari daftar panjang "informan Israel", "pengkhianat", dan "pendusta."
Al-Tayeb Abdel-Rahim, pembantu senior Presiden Abbas, menuduh Shabana sebagai seorang "pejabat intelijen picik" yang digunakan Israel untuk menekan kepemimpinan Palestina agar kembali ke meja perundingan damai.
Yang lainnya mengejek Shabana karena dianggap membeberkan keburukan pemimpinnya di depan umum sehingga membuat Israel memanfaatkan isu ini.
Yang lainnnya lagi mengkritik Shabana dari sudut waktu pengungkapan skandal-skandal itu, dengan mengatakan bahwa mengungkapkan masalah ini di waktu sekarang terlalu sensitif.
Kritik dan reaksi-reaksi sejenis itu kebanyakan merefeleksikan sikap defensif yang menunjukkan ketidakmapuan Otoritas Palestina untuk secara serius menangani penyelewangan-penyelewengan.
Meskipun begitu, pada 14 Februari, Abbas --yang enggan mengomentari masalah itu-- menonaktifkan Husseini dari jabatannya.
Dia juga memerintahkan pembentukan komite penyelidikan yang beranggotakan tiga pemimpin Fatah, termasuk Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif Fatah Abu Maher Ghoneim, Azzam Al-Ahmed, dan the Kepala Pengadilan Fatah Rafiq Natshe.
Penunjukkan Al-Ahmed, yang adalah salah seoranng tertuduh penggelapan uang, menjadi anggota penyelidik skandal itu, mendatangkan keheranan di masyarakat daerah pendudukan itu.
Sejumlah pemimpin Fatah, seperti Jebril Rajoub, menegaskan bahwa Fatah wajib menyelidiki secara serius dan mendalam atas skandal itu.
"Tak cukup dengan mengatakan semua pengungkapan itu bohong. Kita di Fatah mesti melakukan investigasi serius berkenaan dengan soal ini dan mengumumkan hasil-hasilnya sehingga seluruh rakyat kita tahu apa kebenarannya. Kita juga mesti mengaktifkan prinsip-prinsip akuntabilitas di seluruh gerakan dan otoritas PA, serta membangun kembali aparat keamanan berdasarkan pada asas kebangsaan dan mengakhiri kerjasama keamanan dengan Israel."
Malu karena pengungkapan itu, Husseini muncul dalam jumpa pers 14 Februari di Jerusalem Timur dengan menyatakan dia adalah korban intrik penjebakan yang dirancang oleh sebuah geng yang membuat rekaman video itu, untuk memerasnya baik secara politik maupun ekonomi.
Berbicara singkat, Husseini mengatakan tujuan dari intrik itu adalah membuatnya berhenti membebaskan Jerusalem dan menendangnya ke luar negerinya.
Dengan ketus Husseini berkata, "Ini adalah contoh klasik dari perpaduan antara korupsi dan kolaborasi dengan Israel."
Sebagai anggota Dewan Revolusioner Fatah tertunjuk, Husseini menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan dan meninggalkan ruangan.
Pernyataannya itu tidak berhasil menghilangkan keraguan masyarakat terhadap kredibilitas dan integritas moralnya.
"Fatah-get" (skandal baru Fatah) ini, demikian para jurnalis mengatai skandal ini, sudah pasti memperlemah dan mendelegitimasi rezim Abbas-Fayyad.
Meskipun Fatah menyatakan bertanggungjawab atas skandal yang diungkap Shabana itu, para pengamat masih bertanya-tanya bagaimana bisa PA, yang menyebut Shabana sebagai agen Israel, membiarkan seorang agen rahasia menduduki jabatan tertinggi di dinas keamanan Palestina dan mengetahui rahasia-rahasia paling intim kepemimpinan Palestina.
Omong-omong, Shabana juga menuduh keluarga Mahmoud Abbas terlibat langsung dalam skandal itu. (*)
Diterjemahkan dari Al-Ahram/Jafar Sidik
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010