Kami juga ingin menyuarakan agar yang di hulu juga bersama-sama mencari solusi

Jakarta (ANTARA) - Para tenaga kesehatan Indonesia mengirimkan surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo dan pemimpin negara-negara pemilik hutan lainnya agar merespons pandemi COVID-19 dengan melakukan perlindungan hutan guna mencegah wabah baru dan asap kebakaran hutan dan lahan.

Dalam surat terbuka yang dibacakan dokter yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Arif Wicaksono dalam Indonesia Forest Forum yang digelar secara daring diakses dari Jakarta, Kamis, menyebutkan profesional tenaga kesehatan (nakes) Indonesia menyerukan para pemimpin di Indonesia, Malaysia, Brasil, Bolivia dan Komisi Eropa untuk bertindak segera mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebagai bagian dari respons terhadap COVID-19.

Setiap tahun kebakaran hutan dan lahan menciptakan krisis lingkungan dan kesehatan masyarakat. Dan secara global, nyaris seluruh kejadian tersebut terjadi karena aktivitas manusia yang secara sengaja membuka lahan industri agrikultur, seperti kelapa sawit, peternakan, kedelai dan kayu.

Tanpa pandemi, karhutla sudah berdampak fatal bagi kesehatan, terlebih lagi sekarang, kebakaran hutan dan lahan berpotensi memperparah penyakit dan penularan COVID-19.

Asap karhutla mengandung partikel berbahaya yang mencemari kualitas udara secara meluas, dan paparannya terbukti meningkatkan angka kematian akibat penyakit pernafasan sehingga memaksa orang untuk mengungsi.

Selain itu, ia menyebutkan tidak bisa lagi menambah beban sistem kesehatan kita dengan ancaman ganda pada paru-paru kita disebabkan COVID-19 dan karhutla. Gagal mencegah karhutla sejak dini dapat meningkatkan risiko terburuk COVID-19 pada banyak orang.

Baca juga: Indonesia 2018-2019 kehilangan tutupan hutan 462.400 ha

Baca juga: Deforestasi berperan dalam peningkatan zoonosis

Baca juga: Greenpeace: Indonesia salah satu wilayah dengan hutan hujan tersisa


Di samping itu, deforestasi juga terkait dengan kemunculan dan penyebaran wabah baru, seperti Ebola, Zika, dan penyakit zoonosis lainnya. Deforestasi juga salah satu pendorong utama krisis iklim, dengan emisi karbon penjebak panas dan berkurangnya kapasitas hutan untuk menyerap karbon dioksida maka perubahan iklim yang muncul juga dapat menciptakan kondisi yang lebih "ideal" untuk penyebaran penyakit menular ke geografi yang baru.

Senior Public Health Advisor Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) drg Monica Nirmala mengatakan di masa pandemi COVID-19 seperti ini, jika terjadi kabut asap kebakaran hutan dan lahan, maka akan semakin menambah beban berat rumah sakit. Kondisi tersebut menjadi "serangan ganda" bagi kesehatan masyarakat.

Kecenderungan masyarakat yang ada di lokasi rawan karhutla ketika asap mulai muncul berdiam diri dalam rumah tertutup dengan penyejuk udara. Padahal, ia mengatakan kondisi ruang tertutup berpenyejuk udara dengan kondisi ramai orang di dalamnya dapat terjadi superspreader event jika salah satu ternyata sudah terinfeksi SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.

Dokter gigi itu mengatakan sektor kesehatan berada di hilir, yang mengatasi persoalan kesehatan dari dampak kerusakan lingkungan dan krisis iklim.

"Kami juga ingin menyuarakan agar yang di hulu juga bersama-sama mencari solusi untuk mengimplementasikan solusi berkelanjutan. Sehingga kami di hilir tak terus menanggung beban kesehatan dampak masalah ketidakseimbangan di hulu yang sebenarnya bisa di-address".

Ketua Satgas COVID-19 yang juga Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan karthula yang terjadi 90 persen lebih dipicu karena intervensi manusia. Selain itu, 80 persen lahan bekas terbakar berubah menjadi kebun.

Pemadaman, menurut dia, bukan menjadi solusi mengatasi persoalan karhutla di Indonesia, karena selain mahal pemadaman menjadi sangat sulut dilakukan jika terjadi di lahan gambut. Karenanya langkah pencegahan karhutla menjadi prioritas yang dilakukan dengan pelibatan masyarakat.

Baca juga: Deforestasi turun, Indonesia terima 103,8 dolar juta dari GCF

Baca juga: Indonesia upayakan deforestasi tidak lebihi laju rehabilitasi 2030

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020