Atraktor ini dikembangkan dengan memanfaatkan tingkah laku dari cumi-cumi itu sendiri yaitu ketika cumi-cumi memijah dan menempelkan telurnya pada substrat dengan lingkungan yang remang-remang
Jakarta (ANTARA) - Dosen IPB University dari Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof Dr Mulyono S. Baskoro dan Dr Roza Yusfiandayan mengembangkan inovasi atraktor cumi-cumi untuk memperkaya sumber daya hewan tersebut di perairan.
“Atraktor ini dapat digunakan sebagai tempat cumi-cumi melepaskan telurnya, lalu telur-telur tersebut menempel pada atraktor sampai pada akhirnya menetas,” kata Prof Dr Mulyono S. Baskoro melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Inovasi tersebut dikembangkan mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sumber daya perairan melimpah, termasuk cumi-cumi, sehingga konsep penangkapannya diarahkan pada konsep berkelanjutan serta didasarkan pada stok spesies tertentu.
Selain itu, dimaksudkan dalam rangka menjaga populasi, kualitas produksi dan ekosistem perairan serta melarang kegiatan penangkapan yang menggunakan bahan peledak, racun maupun praktik penangkapan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan.
Secara umum, keberadaan atraktor menjadikan suatu kawasan sebagai tempat berkumpul dan bertelur cumi-cumi. Hal itu membuat suatu kawasan potensial dengan sumber daya cumi-cumi, memiliki keunikan pemandangan bawah air dengan hamparan telur cumi-cumi serta dapat berfungsi sebagai daerah asuhan.
“Atraktor ini dikembangkan dengan memanfaatkan tingkah laku dari cumi-cumi itu sendiri yaitu ketika cumi-cumi memijah dan menempelkan telurnya pada substrat dengan lingkungan yang remang-remang,” ujarnya.
Terkait bahan yang digunakan dalam rekayasa teknologi pengayaan sumber daya cumi-cumi itu, kata dia, ialah unit atraktor yang dibuat dari bahan utama kawat harmonika, bambu, pipa paralon, drum bekas aspal atau minyak dan tali rami atau serabut kelapa.
Dari bahan tersebut, dapat dikembangkan empat macam atraktor cumi-cumi, yaitu atraktor kawat harmonika, atraktor bambu, atraktor drum bekas, dan atraktor pipa paralon.
Baca juga: Aktivitas kapal cumi ancam kelestarian penyu sisik di Seruyan
Roza Yusfiandayan menjelaskan sebagai contoh ialah atraktor cumi-cumi kawat harmonika yang dibuat dengan konstruksi menyerupai bunga berkelopak empat dengan diameter 120-130 centimeter dan tinggi 35-40 centimeter.
Atraktor tersebut dilengkapi dengan untaian tali rami pada setiap kelopak sebagai tempat cumi-cumi menempelkan telurnya, kemudian bagian atasnya ditutupi dengan lembaran plastik berwarna gelap untuk mengurangi intensitas cahaya Matahari yang datang pada bagian tempat cumi-cumi akan melepaskan telur.
Atraktor cumi-cumi bambu dibuat dengan konstruksi berbentuk kotak terbuka dengan empat tiang bambu di setiap sudut. Atraktor itu mempunyai ukuran panjang 60 centimeter, lebar 60 centimeter, dan tinggi 40 centimeter.
Atraktor bambu dilengkapi dengan untaian tali serabut kelapa pada bagian tengah sebagai tempat cumi-cumi menempelkan telur dan pada bagian atasnya ditutupi dengan lembaran karung goni sebagai pelindung.
Secara umum, atraktor cumi-cumi telah dikembangkan sejak 2006 di Teluk Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Hasil observasi menunjukkan, satu atraktor cumi-cumi kawat harmonika dapat ditempeli sekitar 600-1.000 telur cumi-cumi di dalam 120-200 kapsul telur.
Satu atraktor cumi-cumi dari drum bekas yang dipasang di perairan Bangka Belitung dapat berisi 234 kapsul telur, di mana setiap kapsul terdapat 4-5 individu bakal calon cumi-cumi.
Hingga saat ini, atraktor cumi-cumi telah dipasang di 14 provinsi, 30 kabupaten di Indonesia. Sejak 2006 hingga 2020 dilakukan kegiatan pelatihan kepada nelayan tentang inovasi atraktor cumi-cumi tersebut dan banyak di antaranya merasakan manfaat dengan keuntungan semakin meningkat.
Baca juga: KKP salurkan cumi beku ke pesantren Bogor
Baca juga: Nelayan Pangkalpinang utamakan tangkap cumi-cumi
Baca juga: UGM manfaatkan tinta cumi-cumi sebagai biomedis antikanker
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020