Jakarta (ANTARA News) - Komisi VII DPR menilai PT PLN (Persero) mengabaikan prosedur penetapan tarif listrik pelanggan 6.600 volt ampere (VA) ke atas meskipun komisi itu mendukung kebijakan tentang penetapan tarif tersebut.
Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsya usai rapat dengar pendapat dengan PLN di Jakarta, Rabu, mengatakan penetapan tarif listrik mesti dikonsultasikan dan mendapat persetujuan Komisi VII DPR sesuai UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
"Prosedur ini harus dilalui pemerintah sebelum dilaksanakan oleh PLN," katanya.
Menurut dia, persetujuan DPR tersebut mesti melalui rapat dengan Menteri ESDM.
Riefky mengatakan pihaknya sebenarnya mendukung penerapan tarif listrik 6.600 VA, asal melalui prosedur yang benar.
"Kebijakan ini akan menekan subsidi listrik," tambahnya.
Ia juga mendukung sikap PLN yang menuruti keinginan pemerintah menunda terlebih dahulu pelaksanaan tarif baru 6.600 VA.
Dalam rapat tersebut, Dirut PLN Dahlan Iskan mengatakan, sebagai direksi BUMN, pihaknya akan menuruti apa pun permintaan pemerintah sebagai pemegang saham. "Kami ikuti apapun keinginan pemerintah termasuk menunda pelaksanaannya," ujarnya.
Rapat yang salah satunya mengagendakan pembahasan penerapan tarif baru 6.600 VA itu ditunda hingga 25 Februari 2010 karena Komisi VII DPR menilai PLN tidak menyiapkan bahan jawaban dengan baik.
Per 1 Januari 2010, PLN memberlakukan pengurangan batas subsidi pelanggan 6.600 VA ke atas dari sebelumnya 80 persen menjadi 50 rata-rata nasional.
Dengan tarif baru tersebut, maka pelanggan hanya mendapat tarif subsidi sekitar Rp600 per kWh sampai pemakaian 50 persen rata-rata nasional, sedang pemakaian di atas 50 persen dikenakan tarif keekonomian sekitar Rp1.300 per kWh.(T.K007/H002)
Pewarta:
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2010
Ibarat supir mobil angkutan, melihat banyak penumpang yang telah menunggu, membayangkan keuntungan dan setoran akan dapat dipenuhi. Tetapi,apa mau dikata, kalau ternyata mobilnya mogok. Akibatnya? semua rugi. Dampaknya? besaar.