Jakarta (ANTARA News) - Penculikan anak di bawah umur Marieta Nova Triani, tersebarnya foto bugil seorang siswi satu SMA di Mataram, prostitusi gelap yang melibatkan anak di Surabaya, dan sejumlah sisi gelap lainnya, telah membangkitkan kekhawatiran massa terhadap jejaring sosial dan perkembangan eksplosif teknologi berbasis internet.
Masyarakat dibuatnya ada dalam dilemma, antara kebutuhan untuk bercengkerama dengan sesama dan kengerian terhadap invasi sisi buruk berjejaring terhadap tatanan sosial, terutama pada anak dan remaja yang paling mengakrabi teknologi berbasis internet, sekaligus calon korban yang paling membutuhkan perlindungan.
Jejaring sosial memang mengambil peran sentral pada banyak tumbuhnya kesadaran sosial, seperti kisah dua pimpinan KPK, Bibit S. Riyanto dan Chandra M. Hamzah, dan ibu muda Prita Mulyasari yang paling merasakan kontribusi hebat jejaring sosial dalam membantu melepaskan diri dari bekap perlakuan tidak benar dan tidak adil.
Tetapi, seperti disebut di paragraf awal, jejaring sosial dan komunikasi inovatif berbasis internet telah pula menampilkan sisi gelapnya, yang kerap menjadi media sekaligus instrumen untuk tindakan-tindakan kriminal.
Inilah yang menjadi salah satu tema polemik paling gres di masyarakat kini. Pertanyaannya, bagaimana itu bisa terjadi?
Bukan teknologi
Kepada ANTARA News, Edmond Makarim, dosen Hukum Telematika, Universitas Indonesia, mengungkapkan mengapa semua itu terjadi, sementara pakar telematika kampiun Onno W. Purbo menawarkan cara bagaimana seharusnya masyarakat bisa mencampakkan sisi gelap jejaring sosial.
Tetapi yang pasti, Edmon menandaskan, bukan Facebook, Twitter, Myspace atau jejaring sosial lainnya, yang menjadi fokus masalah dalam polemik itu.
Semua kenegatifan itu justru menyeruak untuk kemudian menciptakan masalah, karena orang-orang Indonesia belum menjadi "masyarakat informasi."
Edmond, peneliti senior lembaga kajian hukum teknologi Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, menggambarkan "masyarakat informasi" sebagai masyarakat yang matang dalam menghadapi teknologi informasi.
Tapi, alih-alih bersesuaian dengan kematangan itu, penerapan teknologi informasi di Indonesia tidak diimbangi oleh tingkat pendidikan masyarakat, klaim Edmon.
Kepribadian ganda
"Sekalipun sudah berpendidikan, tidak banyak orang yang punya nilai-nilai moral dan etika yang cukup sehingga jejaring sosial masih sering disalahgunakan," begitu Desmond berasumsi.
Misalnya adalah lumrah di Indonesia, tetapi ini jarang terjadi di negara maju, jika seseorang mempunyai akun Facebook lebih dari satu. Edmond menyebut orang-orang seperti ini dengan "berkepribadian ganda".
Identitas ganda itu kemudian dimanfaatkan untuk melanggar hukum, lalu dengan gampangnya lari dari tanggung jawab karena identitas asli mereka susah dilacak.
Salah melihat
Hal itu terjadi karena orang-orang pada umumnya melihat Internet sebagai sebuah dunia yang terpisah dari dunia nyata. Padahal, tidak sama sekali!
Apa yang terjadi di Internet sebenarnya adalah refleksi kehidupan di dunia nyata, kata Mohammad Salahuddien, Wakil Ketua Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII).
Jadi, tidak ada yang salah pada teknologi. Yang salah adalah cara kita melihat teknologi itu.
Bagaimana mencegahnya?
Keluarga adalah pertahanan terkuat dalam menghadapi pengaruh buruk jejaring sosial, tegas Onno W. Purbo, dalam korespondensi elektroniknya dengan ANTARA News.
Komunikasi terbuka antara orang tua dengan anak, kata Onno, adalah kunci mengatasi dampak negatif jejaring sosial.
Onno melanjutkan, keluarga yang matang seharusnya mempersiapkan anak sebelum mengakses internet atau jejaring sosial.
"Orangtua harus bisa mengenali kapan seorang anak pantas mengakses internet," sambung Edmond Makarim.
Dia menganalogikan "izin berselancar di internet" kepada anak, dengan anak ingusan yang disuruh mengendarai sepeda motor. "Pasti jatuh." (*)
editor: jafar sidik
Oleh Liberty Jemadu
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010