Banda Aceh (ANTARA News) - Publik di Banda Aceh kembali tersentak ketika menyaksikan gaya dan liukan tubuh para peserta kontes di atas panggung aula LPP RRI Banda Aceh it pada Sabtu (13/2) malam.
Yang membuat heboh, peragawati gaun pengantin adat Aceh bukan sosok wanita tapi puluhan wanita-pria (waria), alias banci. Gaya yang diperlihatkan tak kalah dengan kaum perempuan, tapi kontes tersebut menimbulkan kecaman masyarakat karena berlangsung di Aceh yang menjalankan aturan Syariat Islam.
"Ini sebuah peristiwa aneh bisa berlangsung di Aceh, sebab tidak ada dalam sejarah yang melegalkan kegiatan dilakukan kaum waria, apalagi Aceh saat ini dikenal sebagai negeri bersyariat," kata sejumlah warga setelah membaca berita pers tentang kegiatan pada Sabtu tersebut.
Jika sebuah kegiatan, misalnya pemilihan putra dan putri terbaik untuk diikuti di tingkat nasional, atau peragaan busana muslim, mungkin tidak menjadi masalah dilakukan di Aceh.
"Tapi, kok bisa di Aceh digelar kontes waria. Saya sangat khawatir perkembangan moral generasi muda Aceh dewasa ini," kata Nurhayati, seorang ibu rumah tangga di Banda Aceh.
Ketua Badan Komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Aceh, Nasruddin, juga minta aparat berwenang agar mengusut tuntas terjadinya kontes waria tersebut.
"Itu tidak boleh terjadi, dan jangan ada pihak yang membiarkan event-event yang bertentangan dengan syariat Islam justru berlangsung di Aceh," katanya.
Para waria menyebutkan acara tersebut sebagai rangkaian kegiatan pemilihan "Duta Sosial dan Budaya Aceh 2010" dan juga sebagai ajang silaturrahmi waria di Aceh.
"Kegiatan ini sebagai ajang silaturrahmi kaum waria dan memilih Duta Sosial dan Budaya Aceh," kata ketua panitia, Jimmy.
Duta Aceh
Dalam kontes yang digelar di aula RRI pada Sabtu (13/2) malam itu terpilih sebagai Duta Aceh yaitu Angga alias Zifana Lestisia (19) asal Kota Lhokseumawe.
Selain untuk mempererat silaturrahmi kaum waria, ajang tersebut juga untuk menghilangkan pandangan negatif masyarakat terhadap kaum wariat.
"Ajang ini untuk membuktikan kaum waria juga bisa melakukan kegiatan yang positif dan mendapatkan izin resmi dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh.
Dia mengatakan, sepekan sebelum malam pemilihan, kata Jimmy, seluruh peserta dikarantina guna belajar mengenai Hak Asasi Manusia dan kepedulian sosial.
Selama karantina mereka mengabdi ke panti asuhan untuk membangun kepedulian sosial karena dalam kontes ini tidak hanya kecantikan yang dinilai tetapi juga kepedulian sosial dan penguasaan ilmu pengetahuan.
Pada malam pemilihan, setiap kontestan mengenakan pakaian adat Aceh dari daerah mereka masing-masing dan pemenangnya akan ikut dalam kontes waria tingkat nasional.
Zifana Lestisia menyatakan akan berusaha memperkenalkan budaya Aceh di tingkat nasional serta membuktikan bahwa waria asal daerah yang menerapkan syariat Islam juga mampu bersaing di ajang nasonal.
Puluhan waria dari berbagai kabupaten dan kota juga ikut larut menyaksikan kontes yang dinilai tabu dilaksanakan di Aceh.
Gaya di atas panggung aula RRI Banda Aceh itu tidak hanya disesalkan warga, tapi juga mendapat kecaman tokoh adat dan kalangan ulama di provinsi berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa tersebut.
"Kami mengecam keras pelaksanaan kontes waria dan tindakan itu telah menodai pelaksanaan syariat Islam di Aceh," kata Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Tgk Faisal Ali.
Ia menilai tidak pada tempatnya dilakukan kontes waria karena perbuatan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Syariat Islam yang telah berlaku "kaffah" (menyeluruh) di provinsi berjuluk "Serambi Mekah" itu.
"Kontes itu, apa pun alasannya jelas bertentangan dengan Syariat Islam dan kita berharap para pihak untuk mempertanggungjawabkan terhadap kegiatan yang bertentangan dengan adat dan budaya serta agama Islam tersebut," katanya.
Di dalam Islam, Faisal Ali yang juga Ketua Dewan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Aceh menyatakan tidak ada yang namanya waria tapi yang ada adalah "khuntsa" dan haram perbuatan jika laki-laki menyerupai wanita dan sebaliknya.
"Artinya, waria itu buatan manusia yakni laki-laki menyerupai perempuan. Sementara `khuntsa` yang ada dan diakui dalam Islam karena itu adalah ciptaan Allah SWT. Kalau waria itu adalah perbuatan yang melanggar kodrat Tuhan," katanya.
Sementara itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Darmuda juga mengecam dilakukannya kontes waria di Banda Aceh.
"Kita juga mengecam dan tidak menoleransi digelarnya kontes waria apapun alasannya jelas bertentangan dengan mayoritas penduduk Aceh yang Islami," katanya.
Ia juga menyatakan heran kenapa bisa digelarnya kontes waria dan itu tidak pernah terjadi sepanjang sejarah Aceh.
"Kami akan mempertanyakan kepada panitia, termasuk penyedia tempat digelarnya kontes waria di Banda Aceh itu," kata anggota DPRA dari fraksi Partai Aceh itu.
Pelecehan
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh merasa dilecehkan dengan ulah kaum waria yang menggelar kontes dengan dalih sudah mendapatkan izin dari lembaga ulama tersebut.
"Mereka harus minta maaf di media massa karena memelesetkan apa yang ada sebab kami tidak pernah mengeluarkan rekomendasi apa pun," kata Ketua MPU Kota Banda Aceh, A Karim Syech.
Karim menjelaskan, pada Kamis (11/2) datang salah seorang perwakilan panitia menyampaikan surat pemberitahuan acara penggalangan dana dan kegiatan sosial oleh Putroe Sejati Aceh (PSA).
Menurut dia, karena tidak ada payung hukum untuk acara tersebut maka hanya dikeluarkan surat arahan mengenai penggelaran acara keramaian yang ditandatangani oleh Sekretaris MPU, Ariadi.
"Dari segi hukum kontes tersebut tidak sah sebab selain bukan ditandatangani oleh ketua maupun wakil ketua MPU juga acara yang digelar tidak sesuai dengan pemberitahuan," ujarnya.
Langkah lebih lanjut yang akan diambil MPU Kota Banda Aceh selain "mewajibkan" kaum waria untuk meminta maaf juga akan ditempuh jalur hukum karena dinilai telah mencemarkan nama baik lembaga MPU.
Untuk menempuh langkah selanjutnya, pihaknya akan duduk bersama 18 anggota MPU Kota Banda Aceh dalam sidang pleno yang akan digelar dalam waktu dekat.
Wakil Ketua MPU Kota Banda Aceh, Abdullah Atiby menyesalkan pelecehan yang dilakukan oleh kaum waria itu.
"Plesetan yang dilakukan kaum waria ini sudah sangat melecehkan bukan hanya MPU tapi seluruh masyarakat Aceh khususnya Kota Banda Aceh," kata Abdullah.
Kontes itu juga menurut dia sudah melecehkan syariat Islam yang diterapkan di bumi Serambi Mekah dan menjelekkan seluruh masyarakat Aceh.
Selain mewajibkan meminta maaf, panitia juga diminta untuk membatalkan seluruh keputusan yang dihasilkan dalam kontes yang diikuti 40 waria dari seluruh Aceh tersebut.
Masyarakat dan ulama mengingatkan pemerintah dan instansi terkait agar berhati-hati dalam memberikan izin bagi pelaksanaan sebuah `event` di "negeri" bersyariat, sebagai upaya menjaga stabilitas ketertiban di provinsi tersebut.(A042/A038)
Oleh oleh Azhari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010