Jakarta (ANTARA News) - Warga negara Inggris yang diduga namanya tercantum dalam tersangka pembunuhan pejabat militer Hamas Mahmoud al-Mabhouh, membantah terlibat dalam pembunuhan itu, demikian warta koran Inggris The Guardian edisi Rabu ini.

Tim pencabut nyawa tokoh senior Hamas di Dubai yang telah mencatut identitas milik enam warga Inggris, dan memalsukan setidaknya lima paspor milik orang Eropa lainnya itu, terkuak hari ini.

Penyelidikan internasional atas pembunuhan Mahmoud al Mabhouh bulan lalu memastikan akan memeriksa peran Israel dalam pembunuhan itu, di mana empat korban yang identitasnya dicuri --yaitu tiga orang berkebangsaan Inggris dan seorang warga Jerman-- masih hidup.

Sejumlah laporan malam lalu menyatakan bahwa sebuah tim beranggotan 17 orang terlibat dalam pembunuhan terencana yang sangat teliti, yang enam orang diantaranya berhasil diidentifikasi.

Tim penyelidik menyebutkan, pihak berwenang di Inggris telah menerbitkan sejumlah paspor yang digunakan oleh para algojo pembunuhan Dubai bulan lalu itu.

Penyelidik memastikan bahwa para pembunuh telah mengubah nama dan nomor paspor-paspor yang dicatut itu, tetapi foto para pemegang paspor tidak diubah.

Sekurang-kurangnya lima warga Inggris yang identitasnya digunakan para pembunuh Dubai, tinggal di Israel. Namun, kelimanya membantah terlibat dalam pembunuhan itu.

"Tentu saja saya marah, bingung dan takut. Saya tengah mempelajari apa yang saya bisa lakukan untuk menjelaskan dan memulihkan nama baik saya," kata salah seorang yang identitasnya dipalsukan, Melvyn Mildiner, kepada Reuters.

Televisi Israel menyebutkan dua warga Israel keturunan Inggris lainnya telah dicatu identitasnya, yaitu Paul Keeley dan Stephen Hodes, serta seorang pemegang paspor Jerman, Michael Bodenheimer.

Pengungkapan itu menimbulkan spekulasi hebat di Timur Tengah mengenai keterlibatan Mossad dalam pembunuhan Mabhouh dan menyingkap persekongkolan yang diorkrestrai dengan sangat teliti, dengan melibatkan 11 pembunuh yang kebanyakan berpura-pura sebagai turis di Dubai, dan beberapa diantaranya mengenakan rambut serta jenggot palsu.

Mabhouh adalah salah seorang pendiri sayap militer Hamas dan diburu Israel karena perannya dalam penculikan tahun 1989 dan pembunuhan dua tentara Israel. Perannya dalam peristiwa itu diakui Hamas bulan lalu.

Malam tadi, pemerintah Israel enggan mengomentari tuduhan keterlibatannya dalam pembunuhan Mabhouh yang bakal memicu ketegangan diplomatik dengan Inggris dan tiga negara Eropa lainyang yang paspornya digunakan, yaitu Irlandia, Jerman dan Prancis.

Republik Irlandia menyebutkan bahwa tiga warganya yang dinyatakan polisi Dubai sebagai para tersangka pembunuhan, tidak pernah ada.

Pemerintah Jerman menyatakan, nomor paspor satu-satunya tersangka warga Jerman, tidak sempurna atau salah, sementara pihak berwenang Prancis menolak mengomentari keaslian paspor Prancis yang digunakan salah seorang pembunuh.

Jaksa penuntut Dubai telah menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap sepuluh pria dan seorang wanita yang dituduh sebagai anggota tim pembunuh. Perintah ini diawali oleh permintaan cekal (red notice) kepada Interpol untuk memburu buronan-buronan itu di seluruh dunia.

Polisi Uni Emirat Arab (UEA) menggambarkan pembunuhan itu sebagai upaya pembunuhan sangat terencana nan teliti, di mana tim eksekutor tiba di Dubai memakai penerbangan berbeda-beda dan menginap di hotel yang berbeda-beda pula.

Mereka semua terpantau di kamera pengintai tengah membuntuti Mabhouh begitu tokoh Hamas itu mendarat di Dubai.

Pembunuh langsung Mabhouh bahkan menginap di hotel yang sama dengan Mabhouh, dan kamarnya berdekatan dengan kamar Mabhouh. Hotel itu sendiri hanya sepuluh menit dari Bandara Internasional Dubai. Pemeriksaan forensik awal menyebutkan bahwa Mabhouh dicekik sampai mati.

Para pembunuh kemudian meningggalkan Dubai menggunakan penerbangan berbeda-beda menuju Eropa dan Asia, sebelum jenazah Mabhouh ditemukan pada 20 Januari.

Pihak berwenang UEA mengidentifikasi Austria sebagai "pusat komando" bagi rencana operasi pembunuhan itu.

Dubai tengah mencari dukungan formal dari negara-negara Eropa, kata Jaksa Agung Dubai Essam al-Humaidan kepada the National, surat kabar yang berbasis di Abu Dhabi.

Menurutnya, UEA telah menandatangani perjanjian hukum dengan sejumlah negara Eropa, yang memungkinkan para tersangka pembunuhan diekstradisi dari wilayah manapun mereka bersembunyi.

Sementara itu, Michael Levi, profesor kriminologi dan pakar pencurian identitas dari Universitas Cardiff, menyatakan bahwa jika dokumen-dokumen perjalanan resmi Inggris yang digunakan para pembunuh dikeluarkan sebelum diperkenalkannya paspor elektronik biometris, maka dokumen-dokumen itu pasti didapatkan dengan cara menyogok pihak berwenang.

"Pola organisasi yang bisa melakukan eksekusi seperti itu bisa menjiplak dokumen-dokumen itu. Intinya adalah bahwa di sistem manapun, Anda hanya harus terlihat cukup tenang saat melewati pemeriksaan orang yang hendak Anda lewati," kata Levi.

Kementerian Luar Negeri Inggris mengatakan, terlalu dini untuk berspekulasi mengenai siapa yang bisa mencatut identitas warga Inggris itu.

Di beberapa dekade lalu, Mossad dikenal memiliki reputasi dalam mencatut paspor negara-negara lain.

Inggris pernah panas hubungan diplomatiknya dengan Israel pada 1987, gara-gara pencatutan paspor milik sejumlah warga Inggris.

Pada 1997, tim pembunuh Mossad menggunakan paspor milik dokter-dokter Kanada dalam percobaan pembunuhan yang gagal terhadap pemimpin Hamas, Khaled Meshal.

Pada 2005, dua tersangka agen rahasia Israel dipenjarakan di Selandia Baru karena mengantongi paspor negara itu secara ilegal.

Sementara itu mantan pejabat Mossad, Rami Yigal, mengatakan kepada radio AD Israel Army bahwa pembunuhan di Dubai itu tidak seperti operasi yang umumnya dilakukan Israel. (*)

Sumber: the Guardian/jafar

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010