Jakarta (ANTARA News) - Sekitar 60 persen rumah singgah bagi anak jalanan tidak aktif lagi karena dukungan pemerintah terhadap penyelenggaraan fasilitas pelayanan sosial itu melemah dalam beberapa tahun terakhir.
"Tahun 1980-an ada sekitar 500 rumah singgah sudah terbentuk dan menjadi bagian dari masyarakat. Sekarang tiap provinsi yang aktif hanya 30 persen sampai 40 persen saja." kata Direktur Pelayanan Sosial Anak Kementerian Sosial Raden Harry Hikmat, Selasa.
Hal ini dikatakannya di sela lokakarya program kesejahteraan sosial anak jalanan di Jakarta.
Harry menjelaskan penurunan aktivitas rumah singgah anak jalanan antara lain terjadi karena berkurangnya dukungan pendanaan dari pemerintah dan lembaga donor.
"Waktu krisis dulu ada jaring pengaman sosial yang sasarannya anak jalanan tapi sesudah itu ada penurunan, akibatnya kegiatan pelayanan kurang dan bahkan ada yang sama sekali tidak ada kegiatan," katanya.
Ketua Forum Komunikasi Rumah Singgah DKI Jakarta Agusman juga menyatakan penurunan subsidi pendanaan kegiatan rumah singgah dari pemerintah telah menyebabkan aktivitas sebagian rumah singgah anak jalanan menurun."Subsidi pemerintah akhir-akhir ini menurun," katanya.
Menurut dia, dari 31 rumah singgah yang ada di DKI Jakarta hanya 10 rumah singgah diantaranya yang mendapatkan subsidi sebesar Rp5 juta per tahun dari pemerintah.
Sementara kebutuhan dana untuk mendukung kegiatan operasional sebuah rumah singgah, kata dia, sekitar Rp150 juta per tahun.
"Kami tidak mengeluh karena tahu kemampuan pendanaan pemerintah memang terbatas tapi dana segitu memang tidak cukup untuk mendukung operasional rumah singgah, paling hanya bisa menutup 10 persen kebutuhan," kata Ketua Rumah Singgah Balarenik itu.
Rumah singgah anak jalanan yang hingga kini tetap bisa berjalan, menurut dia, berusaha menutup kebutuhan biaya operasional dengan menggalang dana dari donatur pribadi, lembaga donor dan instansi pemerintah yang lain.
"Kita kerja sama dengan dinas pendidikan untuk memberikan fasilitas belajar, menyediakan beasiswa dan alat sekolah dari dana para donatur," katanya.
Dia berharap ke depan pemerintah membuat kebijakan yang berpihak kepada anak dan memberikan lebih banyak perhatian terhadap upaya-upaya berbasis masyarakat untuk membantu anak-anak jalanan.
Pemerintah, kata dia, sebaiknya memperbanyak alokasi anggaran untuk program perlindungan anak serta memperkuat kapasitas lembaga dan sumber daya pada rumah singgah dan rumah perlindungan sosial anak.
Harry mengatakan, pemerintah secara bertahap akan mengaktifkan rumah singgah-rumah singgah yang tidak aktif lagi dan mendorong rumah singgah yang aktif meningkatkan aktivitas pelayanan mereka.
Pemerintah, ia melanjutkan, juga mengupayakan penambahan alokasi anggaran untuk program-program perlindungan anak.
"Tahun 2010 ini pemerintah menyediakan Rp3 miliar untuk penanganan 5.000 anak jalanan. Kami mengupayakan penambahan anggaran untuk 12 ribu anak jalanan lagi," katanya.
Namun demikian, kata Harry, sementara ini pihaknya akan fokus bekerja dengan alokasi anggaran yang sudah ada.
Upaya pengaktifan kembali rumah singgah, ia menjelaskan, akan dilakukan dengan menggalang kerjasama dengan instansi pemerintah yang lain dan sektor swasta.
"Kami akan memfasilitasi pengelola rumah singgah supaya bisa mengakses dukungan dari instansi pemerintah yang lain dan yayasan sosial," katanya.
Ia menjelaskan, rumah singgah merupakan salah satu fasilitas sosial terdepan yang diharapkan bisa menjangkau anak-anak jalanan dan mengarahkan mereka ke fasilitas rujukan yang lain untuk mendapatkan berbagai pelayanan sosial seperti pendidikan dan ketrampilan.
Menurut dia, saat ini jumlah anak yang tinggal dan bekerja di jalanan sekitar 145 ribu di seluruh Indonesia. Mereka utamanya ada di wilayah perkotaan.
Anak-anak yang tinggal dan bekerja di jalanan rentan mengalami kekerasan baik kekerasan fisik, psikis maupun seksual dari orang-orang dewasa di sekitar mereka.
Baru-baru ini Kementerian Sosial melakukan studi untuk menakar besaran masalah anak jalanan dan memperoleh informasi menyedihkan dari 736 anak jalanan di DKI Jakarta dan Depok.
Dari 736 anak jalanan di kedua wilayah itu, 14 diantaranya mengaku pernah menjadi korban sodomi, 31 anak pernah diperkosa, 175 anak mendapatkan kekerasan fisik, 184 anak mengalami pemerasan.
Sebanyak 65 anak dieksploitasi secara ekonomi, 271 pernah dirazia, dan 185 anak pernah mengalami kecelakaan lalu lintas.
Pemerintah menyatakan akan mengatasi masalah sosial ini dan menargetkan seluruh anak jalanan sudah terentaskan pada 2011.
"Kalau semua berkomitmen dan bekerjasama merealisasikan komitmen mereka saya yakin ini akan berhasil," demikian Raden Harry Hikmat.(M035/A038)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010