Jakarta (ANTARA News) - Tak berlebihan jika Pasar Gaplok di Kramat Senen, Jakarta Pusat, disebut potret perjuangan hidup kaum urban. Kawasan dekat rel kereta itu telah lama disulap menjadi hunian dan tempat niaga para pendatang dari berbagai pelosok negeri.
Jika berkunjung ke wilayah ini pagi hari, Anda menemukan kesibukan pasar yang tak lazim. Orang-orang bertransaksi tepat di tepi rel kereta, sementara kereta melintas sekitar satu meter dari badan Anda, karena pedagang menjajakan barang hanya 50 cm dari rel.
Uniknya, pedagang tetap tenang berjualan, padahal setiap saat kereta berkecepatan 50 km per jam melintasi mereka.
Saat ANTARA News menyambangi pasar ini, seorang ibu penghuni tenda liar menyarankan untuk tidak jauh-jauh dari rel kereta karena sekitar lima menit sekali kereta api melaluinya.
Lucunya, tenda liar yang dihuni si ibu hanya 20 cm dari rel kereta. Berarti, jika alasan ibu itu melarang ANTARA News menyusuri rel karena takut kereta menyambar, maka seharusnya dia mesti lebih dulu menasihati dirinya sendiri.
Ibu itu sendiri bukan satu-satunya orang yang membuka tenda liar di sisi rel. Puluhan, bahkan mungkin ratusan tenda serupa padat penghuni, berjejer memadati sisi rel. Penghuninya dari pengamen, tukang ojek, pemulung, sampai pedagang warung makanan.
Di sebelah selatan perlintasan, pemandangan tak lazim terhampar, puluhan pedagang berjualan di koridor diantara dua rel.
Jarak lapak dan pedagang dari rel kereta paling jauh 50 cm, sehingga ketika dua kereta melintas bersamaan, maka aktivitas apapun segera berhenti. Ibu-ibu berhenti menawar, lalu berjongkok, kemudian menunduk dan menutupi kepalanya.
Para pedagang umumnya mengaku sampai ke Jakarta karena ajakan saudara sekampungnya yang sudah lebih dulu berjualan di Pasar Gaplok.
"Saya jualan di sini sudah dua tahun diajak kakak saya," kata Warsini, pedagang rambutan asal Brebes yang memiliki lapak tepat di tengah dua rel kereta.
"Kalau nggak begini, kita nggak bisa makan," sambung Suparno, pedagang daun singkong dan ubi asal Purwokerto.
Mereka rata-rata tipikal pejuang kehidupan yang tangguh. Perjuangan hidup mereka dalam menyambung hidup demikian keras, sampai-sampai ancaman maut pun mereka akrabi.
Kebanyakan dari mereka berjualan sayuran, ikan dan buah buahan. Mereka terpaksa "menginvasi" tanah kosong, tepat di sisi rel dan celah sempit diantara dua jalan kereta api, karena lokasi resmi Pasar Gaplok tak bisa menampung mereka.
Wilayah sekitar Pasar Gaplok sendiri dibagi menjadi dua blok, di bagian selatan di daerah Kramat adalah tempat pedagang berjualan, sedangkan di timur di sepanjang wilayah Tanah Tinggi adalah teritori tenda-tenda liar milik pemulung.
Tiap lima menit
Pagi buta sekitar jam 2, aktivitas bongkar muat barang dagangan dan mobil sampah lagi ramai-ramainya. Di jam-jam itu, kereta yang melintas belumlah banyak, tapi tunggulah setelah sekitar jam 5 pagi, saat Jakarta menggeliat dari tidurnya, kereta api bisa melintas setiap lima menit.
"Di sini ramainya jam 2 malem, banyak truk yang mengangkut sampah dan yang membawa sayur, dan semua sudah pada tahu kapan waktu kereta lewat," ujar Sri Hartini, perempuan Purwokerto, penjual nasi bungkus.
Setiap lima menit kereta api lewat, setiap lima menit itu pula nyawa orang dipertaruhkan.
Mereka bukannya tidak takut pada bahaya yang mengancam jiwanya, mereka hanya lebih takut perut mereka diserbu lapar atau hidupnya tidak bersambungan dengan rejeki.
"Saya sih sudah biasa mas, kalau ada kereta lewat paling nunduk atau kalau nggak berdiri sambil tutupin kepala pakai nampan biar nggak kemasukan debu," kata Suminah, pedagang sayur asal Gunung Kidul, Yogyakarta.
Setiap kali kereta melintas, para pedagang bersegera merunduk dan menutupi wajah mereka dengan apapun yang bisa menutupinya. Maklum, kereta yang lewat pasti menerbangkan kotoran, debu, dan sampah-sampah, untuk kemudian jatuh ke mana-mana, termasuk muka mereka.
Tidak hanya itu yang mereka perangi. Masih ada lagi "musuh-musuh" mereka, dari skuadron lalat yang mengerubungi tumpukan sampah, bau bangkai tikus yang "gugur" terlindas kereta, hingga adukan sampah di belakang laju kereta.
Kalau hari masih dicengkeram gelap, biasanya pedagang saling memperingatkan akan segera melintasnya kereta. Peringatan itu tidak hanya untuk sesama pedagang, tetapi juga untuk pembeli, bahkan orang sekedar lewat.
"Kalau kereta mau lewat ya teriak aja, kan tiap lima menit sekali, itu juga sudah jarang lewat kalau sudah siang begini, nanti juga pada minggir semua," tutur Suminah.
Itu membuktikkan mereka sebenarnya sadar hidup di tengah bahaya. Alasan menyambung hidup di kota motrapolitanlah yang membuat mereka "pura-pura" tak menyadari risiko itu.
Digusur
Ancaman terhadap mereka juga datang dari birokrasi. Pedagang dan pemulung di Pasar Gaplok telah berulangkali digusur Tramtib dan PT Kereta Api Indonesia.
Tetapi, tindakan ini bagai menuang garam ke laut. Pedagang tetap membuka lapak. Para pedagang sebelah selatan rel kereta tak berjualan begitu saja, karena setiap hari mereka harus mengeluarkan uang sewa Rp10.000 kepada pihak keamanan setempat.
"Di sini bayar sewa tiap hari Rp10 ribu kepada (pihak) keamanan, baik yang jualan atau yang punya tenda, tapi kalau saya yang lapaknya kecil di tengah rel, cuma kena lima ribu," kata Warsini.
Tak hanya pedagang, pemulung di sebelah utara rel pun diwajibkan membayar sewa kepada aparat setempat. Mereka diperbolehkan membangun tenda atau lapak sementara yang setiap saat dengan mudah ditertibkan kembali.
Dekat kawasan itu, berdiri pos polisi yang pastinya bertanggungjawab pada kondisi keamanan dan ketertiban lingkungan di situ.
Lain hal, tempat kumuh ini justru dipandang menarik oleh turis mancanagara yang ingin menyelami potret lain kehidupan Jakarta, atau bahkan sisi lain Indonesia, yang tentu tidak dipromosikan kepada mereka.
Turis-turis ini seolah ingin melihat potret lain Indonesia yang jauh dari gambaran yang selama ini diperoleh mereka dari brosur-brosur perjalanan wisata.
"Saya pernah difoto sama orang bule, dia dateng berombongan ke sini, jalan jalan di pinggiran rel," kenang Karsini, pemulung yang tinggal di satu tenda dekat rel di Tanah Tinggi.(*)
editor: jafar sidik
Oleh Yudha Pratama
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010