Kepala Inspektorat Sulbar Munarfah Atjo di Mamuju, Senin, mengatakan, kasus dugaan pemalsuan tanda tangan atas pencairan belanja tersebut, pihaknya secara institusional telah melakukan pemeriksaan atau penelitian dokumen.
"Bukan berarti kami tidak menanggapi keluhan Dudi Wahyudi Noor yang saat itu menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Tata Usaha/Pejabat Pelaksana Tekhnis Kegiatan (PPTK) yang merasa telah dirugikan karena tanda tangannya merasa dipalsukan pada tahun anggaran 2007 dan 2008 lalu terkait pengadaan barang dan jasa pada kantor perwakilan Pemprov Sulbar di Jakarta bernilai Rp2 miliar.
Persoalan itu, saat ini kami tetap tindaklanjuti dengan cara melakukan investigasi dengan memeriksa dokumen atas keluhan saudara Dudi selaku korban yang merasa dirugikan, katanya.
Munarfah menuturkan, sangat disayangkan mengapa Dudi baru "bernyanyi" atau mengeluhkan di saat sekarang, kenapa tidak dilaporkan saat dilakukan pemeriksaan tahun 2008.
"Mestinya Dudi membeberkan saat kami melakukan audit pada tahun 2008, tetapi, nyatanya Dudi hanya mengeluhkan di akhir tahun 2009 lalu terkait dokumen surat permintaan pembayaran langsung (SPP-LS), itu pun dilakukan secara lisan bukan secara tertulis," ucapnya.
Ia mengatakan, pada saat dilakukan audit kala itu, tidak ada ditemukan indikasi kerugian negara dan tidak menguntungkan secara pribadi karena barang yang diserahkan oleh pihak ketiga sangat jelas (riil).
"Yang menjadi persoalan adalah karena adanya dugaan tanda tangan palsu, namun, hasil audit yang kami periksa sama sekali tidak menimbulkan kerugian negara maupun kerugian oleh orang-orang tertentu karena barangnya riil adanya sesuai dengan peraturan pengadaan barang dan jasa," ujarnya.
Dia mengatakan, persoalan pemalsuan tanda tangan yang telah dilaporkan ke pihak kepolisian karena dianggap tidak berbuat apa-apa setelah pelapor (Dudi) melaporkan sejak tahun 2009 lalu, sangat disesalkan, karena sebelumnya pelapor sudah sepakat dan memahami dugaan penandatangan yang dipalsukan atas pengadaan barang dan jasa pada tahun anggaran 2008 silam.
Munarfah menjelaskan, pada tahun anggaran 2007 dan 2008, kantor Perwakilan Pemprov Sulbar di Jakarta memperoleh alokasi anggaran dalam APBD melalui Dipa kantor perwakilan sebesar Rp1,77 miliar lebih pada tahun anggaran 2007, sedangkan tahun anggaran 2008 sebesar Rp2,75 miliar lebih.
"Kedua penggunaan anggaran itu telah dilakukan audit oleh tim Inspektorat daerah Sulbar pada tahun anggaran berjalan dan masing-masing ada laporan hasil pemeriksaannya," ujarnya.
Sehingga, lanjutnya, pernyataan Dudi tersebut tidak benar, karena anggaran belanja modal kantor Perwakilan Pemprov Sulbar di Jakarta untuk tahun anggaran 2007 sebesar Rp125,3 juta dan tahun anggaran 2008 sebesar Rp156,3 juta atau belanja modal untuk dua tahun anggarannya hanya sebesar Rp281,6 juta.
Ia menambahkan, lambannya pembayaran hak-hak saudara Dudi selama bertugas di Jakarta disebabkan untuk menutupi utang-utangnya selama di Jakarta.
"Bendahara tidak membayarkan hak Dudi karena digunakan untuk menutupi utang-utang Dudi selama di Jakarta," ucapnya. (ACO/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010