Buku berjudul asli “De eeuw van mijn vader” terbitan PT Suara Harapan Bangsa ini diluncurkan Kamis, 14 Januari 2010, di Erasmus Huis, Jakarta, sebelum didahului satu lokakarya yang dihadiri sekitar 70 orang.
Buku mengenai Belanda abad 20 dilengkapi ilustrasi peristiwa yang dialami keluarga Geert Mak ini mencoba merekonstruksi sejarah Belanda dari peristiwa dan kacamata orang-orang terdekat Geert. Upaya rekonstruksi ini ditempuh melalui dokumentasi otentik berupa simpanan surat, kartu pos bergambar, wawancara dan foto.
Sejarawan kelahiran tahun 1946 ini tidak memungkiri bahwa surat adalah data subjektif namun kerap memuat fakta objektif.
Dia berkata, “Menarik dicermati apa yang orang-orang lakukan, apa yang mereka prioritaskan, apa sebenarnya yang dicemaskan, tergambar nyata dalam fakta tertulis tersebut, dan subjektivitas tidak bisa dihindari. Yang lebih penting adalah kejujuran bahwa apa yang saya tulis adalah berdasar fakta bukan fiksi atau rekaan semata.”
Geert sendiri menyebut dirinya jurnalis yang menjunjung tinggi fakta-fakta, saat merekonstruksi sejarah dari realita yang terpampang di depan mata. “I am an old fashion journalist,” ujarnya mantap.
Dia menulis, “Surat-surat itu mengandung banyak informasi tentang pengalaman orangtua saya pada tahun-tahun tiga puluhan, tentang anak-anak, tentang dunia di mana mereka hidup dan tentang pendapat mereka mengenainya, tidak diralat oleh sensor lunak dari ingatan. Begitulah benar-benar pikiran mereka, dan pasti banyak orang Belanda berpikiran sama.”
Di salah satu alinea dia melanjutkan, politik luar negeri paling-paling disinggung dengan perkataan kosong seperti “Eropa sedang bergolak. Kalau keadaannya terlalu kacau, kalian harus datang ke mari saja.”
Buku setebal 752 halaman ini digambarkan penerbitnya agak sulit diikuti. "Banyak yang tersirat dan bukannya tersurat,” kata Toenggoel P. Siagian dalam kata pengantar.
Buku ini memang sangat pribadi, sangat Belanda dan kadang sukar dipahami, apalagi isinya bertutur soal kesulitan kehidupan orang-orang Belanda di era limapuluhan dan enampuluhan, di kala orang Indonesia sendiri juga hidup dalam kesusahan.
Selain itu, foto-foto dalam buku ini tak banyak membantu pembaca untuk cepat memahaminya, karena tanpa penjelasan atau caption apapun. Pesan cerita pun mengalami erosi, meski penerbit telah mengutarakan bahwa foto dipakai sebagai bagian dari dan terintegrasi dengan narasi.
Siagian menyebutkan, sebagai penerbit dia ingin menerbitkan lebih banyak buku bernilai sejarah Indonesia dari jaman kolonial, namun itu tidak tertuju pada sejarah besar atau sejarah resmi.
“Saya tidak begitu tertarik pada jalan raya sejarah, melainkan pada gang dan lorong di mana warga biasa, entah siapa mereka, bermukim dan berjuang mencari nafkah dengan cara masing-masing,” kata Siagian menyingkapkan hasratnya.
Buku ini telah diterbitkan dalam berbagai bahasa, diantaranya Bahasa Jerman (2005), Hongaria, Italia, Prancis, Polandia, Turki, Cina, Jepang, Norwegia dan Spanyol, minus Bahasa Inggris.
Geert Mak adalah anak seorang pendeta yang belajar sosiolog hukum pada Universitas Vrije dan Universitas Amsterdam. Dari 1970 hingga 1972, dia menjabat asisten pada Fraksi Politik Partai Sosialis Perdamaian, kemudian mengajar Hukum Konsitusi di Universitas Utrecht.
Buku pertamanya adalah “De Engel van Amsterdam” (Malaikat Amsterdam), dilanjutkan dengan penerbitan banyak buku lainnya yang membuat Geert makin terkenal.
Ketika seorang peserta lokakarya menanyainya soal misinya menulis “Abad Bapak Saya,” Geert menjawab, “Saya ingin menulis buku tentang sejarah Belanda abad 20 yang mudah dibaca, selain juga memperkaya pengalaman jurnalistik yang saya miliki, dan yang lebih penting adalah upaya saya menciptakan pengertian antargenerasi yang lebih dalam.” (*)
Oleh Dyah Sulistyorini
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010