Garut (ANTARA News) - Ketua DPRD Garut, Achmad Bajuri menyatakan prihatin dan kecewa masih belum dilaksanakannya operasi pasar beras murah, sehingga terdapat warga di daerahnya terpaksa mengonsumsi nasi "oyek" akibat tidak mampu membeli beras.

Padahal telah lama menganjurkan bahkan meminta Pemkab setempat, agar segera melaksanakan operasi pasar beras murah, terutama saat harganya melambung malahan pada beberapa wilayah lainnya dinilai berharga tidak wajar, tegasnya saat dihubungi ANTARA, Minggu malam.

Tetapi usulan sekitar 21 hari lalu tersebut, hingga kini masih belum dilaksanakan padahal jika Pemkab segera tanggap dipastikan tidak mungkin terjadi peristiwa yang sangat memalukan ini, tegasnya kembali mengingatkan.

Dia berjanji secepatnya menempuh langkah strategis menanggulangi permasalahan itu, karena tidak mustahil peristiwa serupa juga berlangsung di daerah lainnya.

Ketua DPRD bersama seluruh jajarannya, menyatakan pula merasa usulannya tidak dipedulikan Pemkab Garut padahal sebelumnya sering diingatkan, agar melakukan berbagai estimasi persiapan menghadapi banyaknya peristiwa bencana alam termasuk kemungkinan terjadinya ancaman kelaparan disaat kondisi ekonomi sulit.

Wakil Bupati Garut R. Diky Candra saat dihubungi ANTARA, hingga semalam kondisi telepon selulernya tidak diaktifkan.

Kepala Bagian Ekonomi Setda setempat Ir Sutarman sebelumnya saat beberapa kali ditemui mengemukakan, pihaknya tengah menyiapkan pelaksanaan operasi pasar beras murah atau yang harganya standar sebelum melambungnya harga bahan pokok itu.

"Tenang saja, di kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis pun belum digelar operasi pasar," ungkap Sutarman sambil beranjak pergi dengan langkah terburu-buru.

Seorang staf Bagian Perekonomian juga mengatakan, surat resmi untuk pelaksanaan operasi pasar telah disiapkan, dia berharap laku dijual karena kualitas berasnya sama dengan beras untuk masyarakat miskin (raskin), katanya.

Sementara itu warga desa Cipareuan kecamatan Cibiuk, sejak beras mahal terpaksa mengonsumsi nasi "oyek" yang berbahan baku singkong.

Kondisi sosial ekonomi mereka sangat lemah, meski semula umumnya menjadi buruh tani di lahan produktif kemudian beralih profesi mengelola industri rumah tangga.

Namun produksinya antara lain berupa klep pompa air semula bisa dijual ke Jakarta Rp40 hingga Rp150/buah setelah diserbu produk asal China harga jualnya menjadi Rp20/buah.

Sedangkan untuk menggarap lahan produktif dinilai tidak menjanjikan, akibat tingginya biaya produksi yang tidak sebanding dengan hasil yang bisa diperoleh. (Ant/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010