Yogyakarta (ANTARA News) - Plagiarisme merupakan tindakan tercela, karena merusak tatanan dunia pendidikan, kata Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Edy Suandi Hamid.
"Plagiarisme bisa terjadi karena kesengajaan atau justru akibat ketidaktahuan dari mahasiswa atau dosen," katanya menanggapi kasus plagiarisme di dunia akademik, di Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, plagiarisme bisa terjadi karena mahasiswa atau dosen ingin jalan pintas untuk meraih sesuatu, sehingga tidak mau bersusah-payah.
Namun, kata dia, plagiarisme juga bisa terjadi karena mahasiswa atau dosen memang tidak mengetahui hal itu.
"Oleh karena itu, kami gencar mensosialisasikan plagiarisme kepada mahasiswa dan dosen agar mereka mengetahui dan memahami hal tersebut," kata Edy yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI).
Ia mengatakan dahulu memang pernah terjadi plagiarisme di UII, tetapi kasus tersebut sudah diselesaikan.
Atas dasar itu, kata dia, UII terus melakukan sosialisasi tentang plagiarisme kepada mahasiswa dan dosen untuk mencegah terulangnya kasus tersebut.
"Berkaitan dengan hal itu, di UII juga telah dibentuk dewan kode etik yang mengawasi dan melakukan pembinaan mengenai penulisan karya ilmiah serta bahaya plagiarisme," katanya.
Menurut dia, dewan kode etik siap memberikan sanksi tegas seperti skorsing, penundaan kenaikan pangkat hingga pencabutan gelar bagi mahasiswa maupun dosen UII yang terbukti melakukan plagiarisme.
"Sanksi tegas itu diberlakukan agar sivitas akademika UII tidak ada yang melakukan plagiarisme dalam penulisan karya ilmiah," katanya.
Menanggapi plagiarisme yang dilakukan seorang guru besar, ia mengatakan perbuatan tersebut jelas mencoreng dunia pendidikan, karena guru besar merupakan garda terdepan dalam pengembangan pendidikan.
Namun, menurut dia, untuk mencabut gelar guru besar atau profesor yang disandang seorang dosen, hanya bisa dilakukan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), karena yang memberikan gelar itu adalah Mendiknas atas usulan dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
"Dengan demikian, yang berhak mencabut gelar guru besar atau profesor adalah Mendiknas, bukan senat perguruan tinggi yang mengusulkan perolehan gelar tersebut kepada seorang dosen," katanya.
(U.B015/R009)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010