Jakarta (ANTARA News) - Juru bicara Fraksi Partai Golkar di Komisi I DPR RI, Fayakhun Andriadi, mengingatkan pers agar politik pemberitaannya jangan hanya mementingkan tujuan selebrasi (kehebatan-Red) yang sekedar menaikkan citra dan pamor sebuah lembaga atau individu.

"Sebagaimana idealisme dan faktor perjuangan, pemberdayaan media itu agar pers ikut terlibat dalam mencerdaskan bangsa, menjaga dan melestarikan budaya, norma dan nilai serta menjaga keutuhan kedaulatan negara," tegasnya kepada ANTARA, di Jakarta, Selasa malam.

Ia mengatakan itu, sehubungan dengan peringatan Hari Pers Nasional (HPN), 9 Februari 2010, yang dipusatkan di Palembang, dan diawali dengan pelaksanaan Pekan Olah Raga Wartawan Nasional (Porwanas).

Fayakhun Andriadi juga mengingatkan, memenuhi hak mengetahui dan mengembangkan pendapat umum tentu memiliki substansi tujuan.

"Karenanya, tujuan selebrasi yang sekedar menaikkan citra dan pamor sebuah lembaga, janganlah memonopoli kebutuhan informasi dengan mengabaikan pentingnya mengawal generasi masa depan lewat aneka sajian berita yang kurang signifikan," tandasnya.

Dalam kaitan inilah, dia sekali lagi menegaskan, pemberdayaan media harus ikut terlibat dalam mencerdaskan bangsa, menjaga dan melestarikan budaya, norma dan nilai, serta menjaga keutuhan kedaulatan negara.


Renungan Hari Jadi

Fayakhun Andriadi lalu menuturkan sebuah renungan sehubungan hari jadi insan pers Indonesia dengan memulai mengangkat kasus kejahatan dunia siber (`cyber world`), terkait dengan prostitusi melalui dunia maya.

"Yang terbaru, masyarakat kembali dihebohkan oleh kasus hilangnya Marieta Nova Triani, gadis belia berumur 14 tahun di rumah keluarganya di kawasan Bumi Serpong Damai. Tersiar kabar, gadis yang akrab disapa Nova dalam jejaring pertemanan `facebook` ini, diculik atau dibawa kabur oleh teman lelakinya," ungkapnya.

Lalu, status Nova yang bertuliskan `married` dengan Arie, menyebar pemahaman, sosok laki-laki ini bukan sekedar teman, namun sudah selayaknya suami-istri.

"Persoalan menjadi rumit, sebab kedua orang tua Nova tak mengetahui hubungan itu," tuturnya lagi.

Karenanya, Fayakhun Andriadi berpendapat, fenomena `cyber world` yang mewabah kurang lebih sejak satu dasawarsa lalu ini, tidak hanya menghadirkan sisi positif, tapi juga negatif.

"Paling tidak, jika kita merujuk pada beberapa kasus yang terjadi belakangan ini. Tegasnya, teknologi informasi (TI) ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memberi manfaat dengan mendukung pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sisi lain, menciptakan jaringan dan hubungan yang memungkinkan pesan-pesan negatif diterima dan diakses tanpa filter," katanya mengingatkan lagi.


Melakoni Bahasa Siber

Fayakhun Andriadi menambahkan, kini TI telah diakses dan dijamah hingga di sudut-sudut yang sulit diterka keberadaannya.

"Internet merambah ke ruang privasi, tanpa membutuhkan izin dan sensor sang pemilik. Bahasa-bahasa siber yang mencirikan sebuah hubungan pertemanan dan komunitas tertentu dilakoni dengan baik oleh anak-anak yang bahkan tak pernah mengenal komunitas tersebut," ungkapnya.

Lebih dari itu, menurutnya, aneka kultur yang tidak sepenuhnya bisa diterima oleh budaya bangsa, bahkan diproteksi oleh tempat asalnya, diakses penuh tanpa batasan-batasan tertentu.

"Karena itu, kita perlu sebuah solusi segera. Bahwa penyebaran informasi yang terkait dengan pornografi, potensi kejahatan (`cryme`), dan pencemaran nama baik, harus memiliki definisi yang tegas dan penanganan yang jelas," tandasnya.

Sebab, demikian Fayakhun Andriadi, sensor ketat dan pemblokiran yang selama ini didengungkan tidak membuahkan hasil maksimal.

"Beberapa pihak bahkan dengan leluasa memunculkan situs-situs baru dengan karakter dan tipikal yang sama.

Pemerintah memang, menurutnya, telah melakukan proteksi terhadap sisi negatif penyebaran teknologi dan informasi.

"Pada tahun 2008 kan DPR RI mengesahkan undang-undang (UU) yang terkait dengan Informasi dan Transaksi Elektronik. Ada 54 pasal mengatur tentang penyebaran informasi yang memuat hal-hal yang melanggar etika, norma dan nilai-nilai bangsa. Tidak hanya itu, UU Pornografi juga menyajikan peraturan yang sama untuk memberantas sisi negatif dari ilmu pengetahuan dan teknologi," ujarnya.

Namun ternyata, ia melihat penerapan UU tidak selalu berbuah manis sesuai dengan tujuan.

"Berbagai tafsiran yang mengiringi pemaknaan UU tersebut terkadang menjadi persoalan dalam tujuan. Karena itu, terkait dengan penyebaran informasi yang berdampak negatif, pada titik tertentu, Pemerintah harus menarik garis tegas, memberi demarkasi yang distingtif tentang sebuah manfaat dan mudharat," kata Fayakhun Andriadi lagi. (M036/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010