Hal ini ternyata memberikan pengaruh yang cukup besar dalam pertimbangan masuknya FDI
Jakarta (ANTARA) - Penggunaan bahasa dinilai menjadi salah satu hambatan masuknya investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) ke Indonesia selain regulasi berlapis yang harus dihadapi investor.
Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis, mengatakan masuknya FDI salah satunya dipengaruhi oleh kebijakan penguasaan bahasa.
Pasalnya, kemudahan dalam komunikasi secara logis mempromosikan hubungan bisnis.
"Hal ini ternyata memberikan pengaruh yang cukup besar dalam pertimbangan masuknya FDI. Ketika Bappenas/Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional meminta kepada eksekutif internasional di negara-negara ASEAN untuk memberikan saran reformasi cepat, dua dari tiga saran tersebut adalah tentang bahasa, yaitu merevisi Peraturan Presiden Nomor 63/2019 dan menerjemahkan peraturan-peraturan utama ke dalam Bahasa Inggris dan bahasa internasional lainnya," ungkapnya.
Baca juga: Menko Airlangga paparkan empat strategi perbaiki iklim investasi RI
Lebih lanjut, literatur bisnis internasional menunjukkan bahwa perusahaan multinasional Asia lebih suka menggunakan bahasa mereka sendiri dalam interaksi kantor pusat-anak perusahaan.
Mereka sering menempatkan warga negara mereka sendiri sebagai ekspatriat di anak perusahaan di luar negeri untuk meminimalkan kesalahan komunikasi dan mempertahankan kendali.
Andree menambahkan Jepang yang merupakan negara pengirim modal dan tenaga kerja terbesar kedua ke Indonesia pada 2018, lebih memilih menggunakan bahasa mereka sendiri.
Data Japanese External Trade Organization (JETRO) pada 2018 yang menilai 15 negara tuan rumah di ASEAN, menyebutkan negara-negara Asia Barat Daya dan Oseania menunjukkan pentingnya bahasa dalam operasi internasional perusahaan multinasional Jepang.
Ketika diminta untuk menentukan peringkat lima manfaat teratas dari negara tuan rumah ini, hampir semua mencantumkan "lebih sedikit masalah linguistik / komunikasi" atau "lingkungan hidup yang baik untuk ekspatriat Jepang" kecuali untuk Indonesia dan Laos.
Di ASEAN, tujuan FDI yang sedang naik daun dan menjadi favorit perusahaan Jepang, yaitu Vietnam, memiliki pendekatan yang berlawanan dengan Indonesia dalam hal bahasa asing.
Pemerintah Vietnam percaya bahwa penguasaan keterampilan bahasa asing penduduknya merupakan bagian integral dari modernisasi negara.
Pada 2008, Vietnam menganggarkan lebih dari 400 juta dolar AS untuk program nasional pelatihan bahasa asing selama beberapa tahun.
"Meskipun memiliki kurang dari setengah populasi Indonesia, kemampuan Bahasa Inggris di Vietnam mengungguli Indonesia dengan sembilan peringkat pada tahun 2018 dan memberikan sertifikasi kepada pelajar yang menguasai Bahasa Jepang empat kali lebih banyak pada tahun 2017," jelas Andree.
Pemerintah, menurut Andree, dapat belajar dari pengalaman Vietnam. Investor peduli dengan adanya hambatan komunikasi sehingga membatasi pilihan bahasa mereka hanya akan membangun hambatan lain yang kemudian harus mereka atasi.
Alih-alih memaksakan penggunaan bahasa Indonesia pada bisnis asing, pemerintah dapat mengambil pilihan untuk memberi insentif kepada mereka yang memberikan pelatihan bahasa asing bagi staf lokal.
Perusahaan kemudian dapat memperoleh manfaat dari biaya pelatihan dan komunikasi yang lebih rendah.
Sementara itu, orang Indonesia dapat memperoleh keahlian yang bermanfaat untuk mengakses peluang pasar kerja global.
Selama satu dekade terakhir, pemerintah Indonesia telah mengamanatkan penggunaan Bahasa Indonesia di semua aspek kehidupan.
Peraturan ini melampaui peran tradisional bahasa dalam budaya dan pendidikan hingga memasuki ruang bisnis.
Upaya tersebut diawali dengan UU Nomor 24/2009 yang berupaya melindungi kesucian bendera, bahasa, lambang, dan lagu kebangsaan dengan mengatur reproduksi dan penggunaannya.
Di luar penerapannya secara umum dalam komunikasi dan pendidikan kenegaraan, Pasal 26 undang-undang ini juga menyatakan bahwa Bahasa Indonesia harus digunakan dalam semua perjanjian yang melibatkan organisasi dan individu Indonesia.
Pada akhir 2013, peraturan Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan bahwa tenaga kerja asing harus bisa berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia.
Khawatir akan menghalangi investasi asing, Presiden Joko Widodo menginstruksikan Menteri Tenaga Kerja saat itu untuk membatalkan pembatasan tersebut.
Namun, tekanan dari DPR menyebabkan diberlakukannya kembali persyaratan yang lebih ringan dalam Peraturan Presiden Nomor 20/2018, yang mewajibkan pengusaha untuk memfasilitasi pelatihan Bahasa Indonesia bagi pekerja asing mereka.
Baca juga: Menko Airlangga: 143 perusahaan berencana realokasi investasi ke RI
Baca juga: Bahlil: RUU Cipta Kerja jadi "karpet merah" semua investor
Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020