Jakarta (ANTARA News) - Pers nasional dengan berbagai bentuk sajian dan isinya, mengalami kemajuan pesat setelah reformasi 1998. Pada masa Orde Baru, masyarakat Indonesia hanya dapat menikmati sajian informasi berita dan hiburan dari satu stasiun televisi yakni TVRI.

Namun, kini masyarakat bisa menikmati sajian informasi dan hiburan dari sekitar sepuluh stasiun televisi swasta nasional. Belum lagi, televisi lokal di berbagai daerah kini juga telah mengudara meski dengan segala keterbatasannya.

Demikian pula yang terjadi dengan media cetak nasional yang juga mengalami perkembangan yang luar biasa. Sejak awal Reformasi 1998, semua orang sangat mudah membuat koran, tabloid, dan majalah. Bahkan, media berbasis internet juga turut mengalami perkembangan pesat.

Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara pernah menyebutkan, di Indonesia saat ini ada sekitar 1.008 media cetak, 150 lebih media televisi, dan 2.000 lebih radio. Total tiras media cetak mencapai 19,08 juta eksemplar.

Sedangkan jumlah pemirsa televisi yang diperebutkan mencapai sekitar 30 juta orang dan pendengar radio sekitar 34 juta orang.

Namun, menurut Leo Batubara, dari data tersebut, hanya 30 persen media cetak dan kurang dari 10 persen media elektronik (televisi dan radio) yang sehat bisnis.

Fenomena pertumbuhan pers nasional tersebut memang cukup menggembirakan, karena dalam kurun waktu 10-12 tahun terakhir, masyarakat Indonesia dapat merasakan kiprah pers nasional yang semakin beragam dan lebih bebas dibanding dengan era Orde Baru.

Tak bisa dipungkiri, perkembangan pers nasional turut pula mempengaruhi situasi politik dan demokrasi di Tanah Air. Peran media massa dalam ikut mengawasi kinerja pemerintahan termasuk presiden, wakil presiden, menteri dan para pejabat negara lainnya, turut menentukan "wajah" Indonesia ke depan.

Di sisi lain, sejumlah pihak menilai, kebebasan pers di Indonesia yang kebablasan perlu dikoreksi agar pers Indonesia mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat.

Pemerintah pun berharap, momentum peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2010 pada Selasa, 9 Februari, bisa dijadikan ajang untuk membuat agenda-agenda yang bisa memperkuat karakter bangsa melalui pilihan berita atau konten yang mencerahkan masyarakat.

"Setelah kita semua menikmati kebebasan pers, mari kita renungkan, selanjutnya apa yang kita sedang perjuangkan," kata Menkominfo Tifatul Sembiring, pada Konvensi Media Massa di Palembang, Senin (8/2).

Menkominfo mengingatkan kalangan pers bahwa insan pers juga memiliki tanggung jawab untuk turut membangun sebuah masyarakat baru dan menentukan wajah Indonesia masa depan.

Senada dengan itu, salah satu tokoh pers nasional, Surya Paloh, menilai, tantangan kekinian bagi pers tidak lagi soal kebebasan berekspresi, melainkan menegakkan tonggak demokrasi yang bisa menghantarkan pada keadilan dan kesejahteraan sosial.

Pekerjaan rumah yang harus diemban pers pada masa datang, katanya, adalah mengembalikan hakikat demokrasi sebagai alat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan di negeri ini.

Karena itu, ia berharap, perkembangan positif pers di iklim demokrasi saat ini bukanlah ke arah pers yang kebablasan, melainkan pers yang bertanggung jawab. "Kini, pers bertanggung jawab pada etika profesionalitas," kata Surya Paloh.

Sementara itu, ketika menerima pimpinan organisasi pers dan panitia hari Pers Nasional 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menyinggung peran pers ke depan yang harus lebih ditingkatkan agar bisa ikut mencerdaskan masyarakat.

Presiden juga meminta pers tetap memberikan perhatian terhadap isu-isu nasional yang mendasar dan hangat, seperti mengawasi kartel dan harga-harga sejumlah barang yang membebani masyarakat, serta masalah perbaikan sistem penanggulangan reaksi cepat terhadap bencana.

Tanggung jawab moral insan pers dalam turut menentukan "wajah" Indonesia ke depan, tentu tidak lepas dari peran perusahaan pers yang menaunginya.

Pada puncak peringatan Hari Pers Nasional 2010 di Palembang, Sumatra Selatan, Selasa (9/2), yang akan dihadiri Presiden Yudhoyono, dijadwalkan akan ada penandatanganan ratifikasi perusahaan pers yang meliputi standar perusahaan pers, standar kompetensi wartawan, kode etik jurnalistik dan standar perlindungan wartawan.

"Nanti perusahaan-perusahaan yang meratifikasi dan tanda tangan akan diberi tanda atau simbol, seperti halal dan haram. Presiden Yudhoyono menyambut gembira gagasan tersebut," kata Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Margiono.

Perusahaan pers yang memenuhi kriteria yang ditetapkan, kata Margiono, didorong untuk mengikatkan diri pada standar yang sudah disepakati melalui penandatanganan ratifikasi. Standar yang dimaksud meliputi perusahaan pers, kompetensi wartawan, kode etik jurnalistik serta standar perlindungan wartawan.

Nantinya, perusahaan yang sudah meratifikasi akan memiliki standar yang baik dalam sistem penggajian wartawan, sistem jenjang karir wartawan dan juga kemampuan jurnalistik wartawan yang bekerja di perusahaan itu.

Juga bila ada pelanggaran kode etik dari wartawan media tersebut, yang berhak memberikan sanksi adalah perusahaan.

Meski demikian, sesuai dengan Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, tidak ada satu lembaga pun yang dapat memberikan sanksi pada pers, sehingga memang tidak ada pemaksaan bagi perusahaan pers untuk meratifikasi standarisasi ini.

"Namun nanti masyarakat tentu dapat memilih, mana yang sudah memiliki standar baku atau media yang belum. Ini merupakan usaha agar perusahaan pers sadar untuk meningkatkan kualitasnya," kata Margiono.
(A041/B010)

Oleh Oleh Arief Mujayatno
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010