Surabaya (ANTARA News) - Adalah almarhum mantan Presiden KH Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah menyamakan anggota DPR dengan anak Taman Kanak-Kanak (TK).
"Beda antara DPR dengan TK itu memang tidak jelas," ucap tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang meninggal dunia pada 30 Desember 2009 itu.
Tentu saja, kritik "guru bangsa" itu membuat anggota DPR pun geram dan era pemerintahan Gus Dur pun akhirnya berlangsung cukup singkat.
Meminjam ungkapan tokoh kontroversi itu, istilah pers kelas TK agaknya patut dijadikan refleksi dalam merayakan Hari Pers Nasional yang diperingati setiap tanggal 9 Februari.
Menurut wartawan senior Surabaya, Zaenal Arifin Emka, pers sekarang tak semaju kalangan pers di masa lalu.
"Di masa lalu, kalangan pers yang tak sebebas sekarang justru mampu membongkar kasus korupsi Pertamina secara investigatif," katanya kepada ANTARA News di Surabaya (3/2).
Sebaliknya, kata Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya - Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS) itu, pers saat ini yang sudah sangat bebas itu justru tidak mampu melakukan peliputan secara investigatif.
"Kasus Bank Century misalnya, kalangan pers hanya mengungkapkan data-data yang diberikan dari orang lain, bukan melacak data itu sendiri secara investigatif," katanya.
Ditanya penyebab kalangan pers sekarang tidak menggunakan cara investigatif, mantan wartawan "Surabaya Post" itu menilai faktor penyebabnya ada dua yakni sumberdaya manusia dan pragmatisme.
"Sumberdaya manusia di kalangan pers sekarang `kan beragam latar belakang, tapi pragmatisme pers sekarang merupakan faktor yang sangat dominan," katanya.
Ia mengatakan pers saat ini banyak mematok target jumlah berita yang harus dipasok seorang wartawan dalam setiap harinya, sehingga kualitas pun dikorbankan.
"Pragmatisme juga melanda pemilik media yang umumnya enggan mengeluarkan dana dalam jumlah besar untuk sebuah peliputan investigatif," katanya.
Namun, katanya, cara-cara non-investigatif itu merugikan publik, karena masyarakat hanya disodori berita yang tidak mendalam dan sangat mungkin pers "diperalat" pemberi data.
"Karena itu, saya kira redaktur di kalangan pers saat ini sudah saatnya untuk mempertajam satu peliputan secara investigatif, tentunya materi peliputan investigatif juga harus komersil tapi tidak merugikan publik, semisal kasus Bank Century," katanya.
Cara TK
Tidak hanya tidak investigatif, era kebebasan pers akhir-akhir ini juga mendorong kalangan pers untuk menggunakan cara-cara caci maki.
Menurut staf ahli Menkominfo bidang media massa, Dr. Henri Subiakto, S.H., M.A., media massa sekarang tak perlu takut akan dikendalikan negara atau pemilik media.
"Itu karena sekarang ada `facebookers` (pengguna laman jejaring sosial, Facebook) yang mampu mengembangkan informasi yang mengimbangi negara dan pemilik media," katanya di sela-sela ujian doktor di Universitas Airlangga Surabaya (2/2).
Anggota Dewan Pengawas (Dewas) Perum LKBN ANTARA itu mencontohkan era pemerintahan Soeharto (Pak Harto).
"Hingga detik-detik menjelang reformasi tahun 1998 justru menunjukkan sejumlah stasiun televisi milik anak-anak Pak Harto bersaing menayangkan aksi unjuk rasa di mana-mana. Jadi, kontrol negara dan pemilik media itu tidak sempurna," katanya.
Alumnus S1 Ilmu Komunikasi UGM Yogyakarta yang menjadi dosen komunikasi di Unair Surabaya sejak tahun 1988 itu, "facebookers" justru merupakan kontrol yang sebenarnya.
"Ada juga kontrol yang sebenarnya yakni rating (tingkat besar-kecilnya khalayak yang menikmati program). Pemilik modal itu hanya mampu mengendalikan aset media massa dan tidak akan mampu mengontrol isi (konten)," katanya.
Oleh karena itu, pemerintah juga perlu memperkuat lembaga pelayanan publik (LPP) seperti TVRI dan RRI untuk mengimbangi opini yang merugikan publik.
"Saya kira, rating itu rekayasa industri untuk membentuk keinginan masyarakat, misalnya sinetron yang merupakan selera ciptaan industri media massa. Mana dulu, rating atau selera publik? Itu ibarat perdebatan tentang ayam dan telur, saya kira keduanya saling mendukung," katanya.
Masalahnya, kontrol negara dan pemodal terhadap media massa yang sudah tak perlu dikhawatirkan itu justru membuat cara-cara caci maki juga marak digunakan kalangan pers.
Kalau mau jujur, kritik media massa sebenarnya cukup baik, namun tujuan yang baik agaknya perlu dilakukan dengan cara-cara yang baik.
"Wajah Indonesia itu bukan hanya aksi unjuk rasa dan pertikaian antarsuku seperti yang sering disiarkan media, tapi sesungguhnya masih banyak hasil karya yang dilahirkan anak bangsa negeri ini," kata Menkominfo Tifatul Sembiring dalam Konvensi Media Nasional di Palembang (8/2).
Dalam pandangan Menkominfo, kebebasan pers itu dapat digunakan mencermati wajah Indonesia secara utuh yakni wajah unjuk rasa, tapi juga wajah karya anak bangsa, sehingga pers benar-benar menjaga karakternya, seimbang, dan netralitas dalam menyiarkan informasi.
Agaknya, era kebebasan pers saat ini membuat pers dihadapkan pada pertanyaan: apakah cara-cara non-investigasi dan cara-cara caci maki itu bukan cara-cara anak TK? Bukankah cara-cara seperti itu membuat kritik pers menjadi sia-sia, karena tak didengar?(E011/A038)
Oleh oleh Edy M Ya`kub
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010