Jakarta (ANTARA News) - Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Uiversitas Gajah Mada Zainal Arifin Mochtar mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang memiliki kemampuan terbatas, namun tidak selayaknya mempertontonkan praktik tebang pilih.
"Kesan adanya karpet merah, hitam, atau hijau tidak boleh ada. Semua kasus korupsi harus dihadapi dengan kuat," kata Zainal saat dihubungi dari Jakarta, Minggu.
Dikatakannya, memang tidak semua kasus korupsi harus ditangani KPK, namun tebang pilih bagi KPK sudah diatur undang-undang, yakni komisi itu hanya menangani kasus korupsi di atas Rp1 miliar, menyangkut pejabat publik, dan kasus yang menyita perhatian publik.
"Itu tebang pilih yang diatur undang-undang, " katanya.
Ditanya tentang kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran (Damkar) yang terkesan tebang pilih, Zainal sepakat hal itu tidak boleh terjadi.
Dalam kasus itu, menurut Zainal, KPK harus mempelajari sungguh-sungguh peran mantan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno, yang saat ini berstatus sebagai saksi.
"Kalau ada (peran Hari dalam kasus itu, Red), tak wajar jika Hari tidak menjadi tersangka. Jadi, KPK harus mengejar dia," katanya.
Terkait adanya pihak-pihak yang masih melenggang meski telah berstatus tersangka dalam kasus itu, misalnya Gubernur Kepulauan Riau Ismet Abdullah, Zainal mengakui bahwa penahanan merupakan subyektivitas penyidik, artinya merupakan kewenangan penyidik untuk menantukan seorang tersangka perlu ditahan atau tidak.
Tetapi, kata Zainal, seharusnya dalam kasus penting seperti korupsi, penahanan juga menjadi sesuatu yang penting.
"Kalau sudah tersangka, kenapa tidak ditahan? Bukankah kita sedang membangun efek jera? Di sini, penegakan hukum secara keras oleh KPK menjadi penting," katanya.
Hal senada dikemukakan Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Ibrahim Fahmi Badoh.
"Menurut saya penegakan hukum harus tuntas, karena korupsi adalah kejahatan jaringan persekongkolan.Penegakan juga harus mencegah korupsi terjadi lagi," tandasnya.
Dalam kasus Damkar, mantan Dirjen Otonomi Daerah Depdagri Oentarto Sindung Mawardi divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tipikor.
Kasus itu juga menjerat sejumlah pejabat dan mantan pejabat daerah dan telah dijatuhi vonis. Mereka adalah Walikota Makassar Baso Amiruddin Maula divonis empat tahun, Walikota Medan Abdillah dan wakilnya Ramli, masing-masing lima tahun dan empat tahun.
Selanjutnya, mantan Gubernur Riau Saleh Djasit divonis empat tahun, Pimpinan Proyek di Kalimantan Timur Ismed Rusdani divonis dua tahun, dan mantan Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan divonis empat tahun.(S024/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010