Jakarta (ANTARA News) - Pemberlakuan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (CAFTA) mungkin bisa ditunfda, namun dalam perpspektif hukum internasional akan sulit dilakukan oleh Indonesia, kata pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana, dalam siaran persnya, Minggu.
"Perlu dipahami terlebih dahulu ada dua instrumen penting bagi pembentukan CAFTA. CAFTA dibentuk berdasarkan dua dasar hukum internasional penting," katanya.
Dasar hukum pertama, kata Hikmahanto, adalah "Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-Operation Between ASEAN and the People`s Republic of China."
Kedua, "Agreement on Trade in Goods of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between the Association of Southeast Asian Nations and the People`s Republic of China" (ATG) yang ditandatangani 9 Nopember 2004.
Ketentuan yang menyebutkan CAFTA akan diberlakukan pada 2010 terdapat pada Pasal 8 ayat (1) "Framework Agreement".
Ketentuan itu menyebutkan, untuk perdagangan barang, negosiasi diselesaikan pada 30 Juni 2004 dalam upaya mendirikan ASEAN-China FTA dalam perdagangan barang sampai 2010 antara Brunei, China, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura and Thailand, dan pada 2015 untuk anggota ASEAN baru lainnya."
Menurut Hikmahanto, ada tiga alasan mengapa permintaan Indonesia untuk meminta penundaan CAFTA.
Pertama, Indonesia menandatangani ATG bersama negara-negara ASEAN yang telah tergabung dalam ASEAN Free Trade Area (AFTA). Artinya Indonesia tidak dalam kapasitas sebagai negara ASEAN tetapi bagian dari AFTA.
Oleh karena itu, penundaan harus melalui dua tahapan. Tahap pertama adalah meyakinkan negara-negara ASEAN agar ASEAN mau meminta penundaan kepada China. Tahap kedua adalah ASEAN yang telah satu suara dalam penundaan untuk Indonesia, bernegosiasi dengan China agar ATG ditunda pemberlakuannya.
Proses ini, katanya, akan sangat sulit dan memakan waktu, padahal keberlakuan ATG sudah berlangsung.
Kedua, penundaan akan masuk dalam klausul amandemen. Keinginan Indonesia untuk menunda jangka waktu maupun sektor tertentu akan masuk dalam katagori mengamandemen ketentuan Pasal 8 "Framework Agreement".
Dalam "Framework Agreement" memang diatur bila ada pihak yang hendak mengamandeman isi dari perjanjian. Ini diatur dalam pasal 14 yang menyebutkan, "The provisions of this Agreement may be modified through amendments mutually agreed upon in writing by the Parties".
Kesulitan terletak pada kenyataan amandemen harus dilakukan oleh seluruh Negara ASEAN dengan China meskipun untuk hubungan yang bersifat bilateral. Preseden mengenai hal ini pernah terjadi, katanya.
Pada tanggal 8 Desember 2006, "Framework Agreement" telah diamandemen terkait masalah bilateral antara Vietnam dan China. Amandemen ini tertuang dalam "Protocol to Amend the Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between Association of South East Asian Nations and People?s Republic of China".
Meski yang diatur bersifat bilateral, perjanjian untuk mengamandemen harus dilakukan oleh seluruh negara ASEAN dengan China, tambahnya.
Ketiga, bila Indonesia berkeras untuk tidak memberlakukan ATG dan China tidak menyetujuinya maka ini bisa berujung pada sengketa.
"Sengketa terkait dengan ATG telah mendapat pengaturan yaitu dalam Pasal 21 yang menyebutkan, `The Agreement on Dispute Settlement Mechanism between ASEAN and China shall apply to this Agreement`," katanya.
Untuk diketahui mekanisme penyelesaian sengketa telah mendapat pengaturan dalam "Dispute Settlement Agreement" antara ASEAN dan China yang ditandatangani pada tanggal 29 Nopember 2004.
Meski belum pernah dimanfaatkan, penyelesaian sengketa tentu akan memakan waktu dan energi, katanya.
Berdasarkan hal tiga di atas, tambahnya, maka akan sulit bagi Indonesia untuk menunda keberlakuan dari CAFTA dari perspektif hukum internasional.
A017*BAC/AM020
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010