Bogor (ANTARA News) - Baru saja 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu II terlewati. Beberapa terobosan konseptual di bidang kelautan dan perikanan (KP) sudah digulirkan, salah satunya target peningkatan produksi perikanan 353 persen hingga tahun 2014 melalui gerakan minapolitan.
Terobosan konseptual itu cukup kontroversial mengingat selama ini target produksi berkisar 20 persen per tahun.
Pesimisme justru muncul dari sebagian kalangan internal Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri yang belum terbiasa dengan mimpi besar seperti itu, apalagi di era otonomi daerah tumpuan peningkatan produksi ada pada pemerintah daerah. Tentu tidak mudah menggerakkan daerah memacu produksi.
Sementara terobosan kebijakan yang sudah dicoba adalah menghapus retribusi perikanan, demi meningkatkan pendapatan nelayan. Kebijakan ini sebenarnya sangat populis, hanya saja ini adalah kewenangan pemerintah daerah yang tidak mudah diintervensi. Apalagi retribusi adalah salah satu sumber Pendapatan Asli daerah (PAD).
Tentu kurang bijak jika kita menuntut misi peningkatan kesejahteraan nelayan dan masalah kelautan serta perikanan, terwujud atau selesai dalam waktu 100 hari.
Namun, di periode itu, ada sejumlah terobosan dan kebijakan di bidang kelautan dan perikanan yang bisa diambil dan dapat menjadi prioritas pasca 100 hari. Diantara yang bisa disebut adalah tiga langkah terobosan maupun kebijakan konkret berikut ini.
Pertama, mengembangkan Lembaga Pembiayaan Perikanan (LPP) nonbank sebagai alternatif sumber pembiayaan usaha perikanan skala mikro. Ini penting mengingat sumber-sumber pembiayaan berbasis perbankan konvensional selama ini kurang menunjang usaha kecil perikanan.
Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang tujuannya meningkatkan usaha kecil perikanan belum mampu menjangkau sentra-sentra produksi perikanan dan kurang cocok dengan karakteristik usaha kecil perikanan.
KUR masih mengacu pada mekanisme perbankan konvensional di mana fleksibilitas layanannya sangat rendah. Misalnya, bank pelaksana kesulitan dalam memberikan pelayanan malam hari sebagaimana dikehendaki nelayan, memberikan pinjaman kurang dari satu tahun, dan pengembalian yang bersifat harian.
Begitu pula dengan skema Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) yang juga berbasis perbankan konvensional, di mana serapannya baru 0,2 persen. Hanya Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan tengkulak yang mampu melakukan hal itu. Padahal saat ini pemerintah sudah mendirikan sekitar 255 LKM.
Sudah saatnya LKM-LKM tersebut dikembangkan menjadi kepanjangan tangan dari LPP. Jika untuk kemudahan kredit ekspor lalu dibentuk Lembaga Pembiayaan Ekspor (LPE), mengapa untuk kredit mikro perikanan tidak bisa dibentuk LPP? Artinya lagi-lagi ini soal politik legislasi.
Di sinilah akan terlihat bagaimana keberpihakan DPR dan komitmen pemerintah untuk terus memperjuangkan nelayan.
Ingat, UU Perikanan No 31/2004 yang telah direvisi mengamanatkan skim kredit khusus untuk nelayan kecil dan pembudidayaan ikan kecil.
Jadi, LPP adalah jawaban atas amanat UU. Kementerian Pertanian sebenarnya jauh lebih progresif melangkah dengan mengajukan RUU Pembiayaan Pertanian. Dan mengingat karakteristik usaha perikanan dan pertanian relatif mirip, RUU serupa bisa diajukan dengan mencakup pula sektor perikanan.
Atau, Kementrian KP menyiapkan sendiri draf RUU Pembiayaan Perikanan. Berharap dari KUR dan kredit sejenisnya sama saja mengabaikan realitas bahwa 97 persen nelayan kita tergolong kecil dan memerlukan kredit tidak terlalu besar dengan prosedur sederhana nan fleksibel.
Kedua, meningkatkan pendapatan nelayan dan pembudidaya ikan melalui jaminan harga ikan, diversifikasi teknologi dan usaha, serta perbaikan infrastruktur.
Harga ikan bisa menjadi nol rupiah ketika suplai berlebih (over supply), sementara hingga saat ini belum ada mekanisme penjaminan harga untuk mengatasi masalah tersebut.
Harga ikan yang rendah ini membuka peluang ikan-ikan dibuang kembali ke laut. Jika ini terjadi maka tidak saja masalah ekonomi nelayan terpuruk, tetapi juga sumberdaya ikan makin menipis akibat praktik pembuangan ikan (discard fishing).
Salah satu instrumen yang bisa dikembangkan adalah membangun cold-storage mini di sentra-sentra produksi perikanan yang prinsipnya mirip dengan konsep resi gudang. Memang saat ini sudah ada beberapa cold storage milik pemerintah/BUMN, namun itu hanya bisa diakses oleh usaha perikanan besar.
Nah, cold-storage mini perlu disediakan untuk nelayan kecil di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang bisa dikelola koperasi perikanan. Kapasitas PPI adalah 5-10 ton ikan/hari, dan ini sesuai dengan kapasitas mini-coldstorage.
Hanya saja persoalannya adalah bagaimana institusi penjaminan harga bisa dibangun di sentra-sentra perikanan rakyat, khususnya di pulau-pulau kecil yang biasanya minim infrastruktur seperti pasokan listrik.
Sementara itu diversifikasi teknologi dan usaha sangat penting bagi nelayan kecil dalam mengantisipasi perubahan musim.
Kebanyakan nelayan hanya memiliki satu jenis alat tangkap yang cocok untuk musim tertentu saja, sehingga mereka tidak bisa melaut pada musim lain.
Diversifikasi teknologi bisa menjamin nelayan menangkap ikan sepanjang tahun, dikurangi masa-masa perbaikan perahu dan alat tangkap. Begitu pula diversifikasi usaha yang bersifat horizontal maupun vertikal (usaha pengolahan ikan) dapat meningkatkan nilai tambah.
Diversifikasi ini bisa mencontoh usaha pengolahan lele menjadi abon, krupuk, dan produk turunan lainnya di Kampung Lele Boyolali.
Ketiga, meningkatkan perlindungan nelayan dan pembudidaya ikan dengan membuka akses pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya, serta perdagangan. Banyak tantangan yang berpotensi mempersempit akses, seperti kegiatan industri yang mencemari perairan sehingga wilayah tersebut tidak layak untuk kegiatan perikanan.
Kegiatan wisata bahari dan konservasi yang justru demi melestarikan sumberdaya tetapi seringkali malah menghambat akses nelayan. UU 27/2007 memang telah mulai mengakui hak masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya. Ini adalah bentuk perlindungan yang sangat positif.
Namun di sisi lain ada kekhawatiran tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) untuk swasta.
Ini ditambah oleh rencana pemerintah menerapkan kluster perikanan (baca: konsesi) berbasis Peraturan Menteri No 5/2008 yang berpotensi mengusik rasa keadilan nelayan.
Oleh karena itu, langkah yang bisa dilakukan untuk perlindungan nelayan pasca 100 hari ini adalah mengkaji kembali produk peraturan dan perundangan yang berpotensi memarjinalkan nelayan.
Kemudian, revisi-revisi yang bisa menjamin tetap terbukanya akses pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya untuk kesejahteraan nelayan.
Namun, China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) yang berlaku 1 Januari 2010 makin menantang dan mengancam perikanan kita.
Bayangkan, ikan batin Vietnam bisa dijual kurang dari 7000 rupiah/kg, sementara biaya produksi ikan patin kita mencapai 7500 rupiah/kg sehingga harga jualnya bisa mencapai Rp9000-10000 rupiah. Belum lagi serbuan udang Cina.
Oleh karena itu, perlindungan perdagangan ikan adalah keniscayaan, tetapi mesti ditempuh lewat instrumen-instrumen yang elegan dan cerdas.
Ketiga agenda pokok tersebut dapat menjadi pilar penting pemberdayaan masyarakat pesisir pasca 100 hari pemerintahan Yudhoyono-Boediono.
Agenda tersebut bakal menunjang misi Kementrian KP dalam mensejahterakan nelayan dan pembudidaya ikan, dengan catatan ada baseline data tingkat kesejahteraan nelayan yang akurat.
Hingga saat ini tidak ada data kemiskinan nelayan, sehingga sulit mengukur sejauh mana keberhasilan program-program pemerintah dalam mensejahterakan nelayan.
Tentu masih banyak faktor lain yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan, yang sebagian besar berada di luar domain Kementerian KP.
Oleh karena itu, Menteri KP mesti memerani “duta perikanan” yang terus berinteraksi dengan kementerian lain, DPR, dan pemangku kepentingan, agar kepentingan sektor KP terus terjaga.
(*) Dosen Fakultas Ekologi Manusia dan Direktur Riset dan Kajian Strategis IPB
Oleh Arif Satria (*)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010