Jakarta (ANTARA News) - Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha menyatakan pihak yang berwenang seharusnya dapat merumuskan kembali dasar hukum yang dapat menjamin penghormatan terhadap simbol-simbol negara.

Usai pembukaan rapat kerja pimpinan Kementerian Luar Negeri di Istana Negara, Jakarta, Kamis, ia menegaskan penghinaan simbol negara, utamanya Kepala Negara, tidak dapat dibiarkan terjadi tanpa pertanggungjawaban di dalam negara hukum seperti Indonesia.

"Mungkin kami kira pihak-pihak yang memiliki otoritas di dalam rumusan mengenai bagaimana penghormatan terhadap simbol-simbol negara untuk meninjau kembali, apakah perlu melihat dasar hukum yang sekarang dipakai," tuturnya.

Pasal ancaman pidana dari penghinaan Kepala Negara dalam Kitab Hukum Undang-undang Pidana (KUHP) yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi, menurut Julian, bukan berarti penghinaan kepada simbol-simbol negara dapat dilakukan secara leluasa.

Ia menilai sejak dasar hukum yang melindungi kehormatan simbol-simbol negara dicabut, maka masyarakat yang tidak memperhatikan dan memedulikan etika beranggapan dapat melakukan apa saja dengan simbol-simbol negara tersebut.

Julian mengatakan seharusnya pranata-pranata politik dan simbol-simbol negara tetap memiliki jaminan dasar hukum untuk dilindungi.

"Ini negara hukum, jadi tidak boleh kita biarkan ada sesuatu yang sifatnya berlebihan atau menghina Kepala Negara, kemudian kita biarkan tanpa konsekuensi atau pertanggungjawaban," ujarnya.

Julian berharap pihak yang memiliki otoritas seperti penegak hukum dapat mempelajari kembali rumusan penghormatan atau sikap yang layak ditujukan kepada simbol-simbol negara seperti Kepala Negara.

Meski demikian, menurut dia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum berencana untuk mengambil langkah hukum terhadap aksi-aksi unjuk rasa yang dinilai melecehkan dirinya.

"Belum ada arahan Presiden, tapi sangat ironis Presiden hanya akan mengadukan delik aduan. Itu diproses sebagai warga negara biasa, sepertinya tidak begitu idealnya," ujarnya.

Saat memberikan pengarahan kepada para menteri Kabinet Indonesia Bersatu Kedua dan seluruh gubernur di Indonesia dalam rapat kerja di Istana Cipanas, Rabu 3 Februari 2010, Presiden Yudhoyono menyinggung cara berunjukrasa yang seharusnya dilakukan tanpa mencederai demokrasi, budaya, dan peradaban Indonesia.

Meski memahami aksi unjuk rasa, Presiden mengungkapkan adanya masukan dari berbagai pihak yang disampaikan kepadanya tentang cara berdemonstrasi tersebut.

Ia mengkirtik unjuk rasa dengan loudspeaker yang keras lalu berteriak-teriak "SBY maling, Boediono maling, dan menteri maling`", dan mereka yang membawa kerbau sebagai lambang malas dan bodoh yang ditujukan kepada dirinya.

"Apa itu ekspresi kebebasan dan demokrasi," tutur Presiden.

Menurut Julian, Presiden tidak bermaksud mengeluh dalam pernyataannya tersebut. Presiden hanya berharap aksi unjuk rasa dilakukan dengan cara yang tepat dan agar para demosntran membatasi diri dalam bersikap.

Menurut dia, cara berdemonstrasi seperti itu sama sekali tidak memiliki hubungan dengan substansi atau tema yang diajukan dalam aksi unjuk rasa.

"Presiden mengharapkan ke depan agar aksi-aksi demo ini lebih tertib sesuai dengan kepatutan kita. Demo seperti itu tidak sesuai dengan konteksnya karena tidak ada substansi dari apa yang dilakukan kecuali penghinaan atau pelecehan terhadap simbol-simbol negara," demikian Julian.(D013/A024)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010