Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia bersikap abstain dalam pemungutan suara proses adopsi resolusi Sidang Darurat Majelis Umum PBB mengenai agresi Israel di Jalur Gaza. "Indonesia memilih abstain karena posisi prinsip Indonesia bahwa resolusi itu tidak cukup keras mengecam Israel atas serangan kejinya ke Gaza," kata Juru bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah di Jakarta, Sabtu, mengenai posisi Indonesia tersebut. Sikap abstain yang diambil Indonesia memang boleh jadi cukup mengejutkan mengingat Indonesia adalah penggagas Sidang Darurat Majelis Umum PBB itu, jauh sebelum Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi No.1860 pekan lalu. Sementara itu dalam pidatonya pada sidang tersebut Duta Besar RI untuk PBB Marty Natalegawa mengatakan bahwa sebagai salah satu pendukung utama Palestina, Indonesia sangat menyesal tidak dapat bergabung dengan nengara-negara anggota PBB yang lain mewujudkan suatu konsensus dalam sidang itu. "Delegasi kami akan memiliki kesulitan besar untuk menjelaskan hal ini kepada masyarakat Indonesia, tentang bagaimana mungkin kita, sebagai Majelis Umum, bukan Dewan Keamanan, sebagai suatu Majelis Umum yang beranggotakan 190 negara, tidak dapat secara eksplisit berkata kepada Israel, kekuatan pendudukan, untuk menghentikan aksi kekerasannya dan keluar dari Gaza sekarang," kata Marty. Menurut Marty, dengan adanya perubahan pada naskah resolusi tepatnya pada paragrah tiga pembukaan naskah baru, Majelis Umum bahkan tidak mampu mengidentifikasi tersangka utama dari seluruh krisis kemanusiaan itu, yaitu Israel. "Tentu saja setiap nyawa berharga, saya tidak mengatakan bahwa nyawa seseorang lebih berharga dari yang lain. Kami mengutuk, kami merasa prihatin dengan setiap warga sipil yang tewas, baik Palestina maupun Israel," katanya. Tapi, lanjut dia, Sidang Darurat Majelis Umum kali ini adalah saat yang tepat untuk bersikap tegas dan jelas. "Kami dapat mengatakan bahwa kami tidak dapat mendukung resolusi ini, tidak karena kami tidak mendukung Palestina. Sebaliknya kami mendukung Palestina 110 persen sehingga kami merasa bahwa resolusi ini tidak cukup keras mengutuk Israel, dalam meminta Israel untuk segera menarik diri dari wilayah Palestina yang didudukinya," katanya. Oleh karena itu, kata Marty, dengan bersikap abstain maka Indonesia justru menunjukkan sikap dan solidaritasnya secara total kepada penderitaan warga Palestina sehingga meminta dengan segera penarikan pasukan Israel dari Jalur Gaza. Sementara itu akhir pekan ini Sidang Darurat Majelis Umum PBB dalam suatu resolusi tak mengikat yang diubah, badan yang beranggotakan 192 negara tersebut hampir dengan secara bulat memberi suara untuk mendesak "penghormatan penuh" resolusi No.1860 yang menyerukan suatu gencatan senjata segera, bertahan lama dan sepenuhnya dipatuhi, terutama penarikan seluruh pasukan Israel dari Jalur Gaza. Resolusi itu diadopsi melalui perdebatan berjam-jam dengan suara 142 menerima, enam menolak, dan sisanya abstain. Resolusi Dewan Keamanan PBB 1860 juga menyerukan agar "tidak dihambatnya penyediaan dan distribusi bantuan kemanusiaan, termasuk bahan makanan, bahan bakar dan obat-obatan di seluruh Jalur Gaza". Sementara itu, jumlah korban tewas di kalangan warga Palestina selama perang tiga pekan terakhir ini menurut kementerian kesehatan di Jalur Gaza sedikitnya mencapai 1.105 orang, dengan sekitar 15.000 cedera. Para pejabat Palestina memperkirakan serangan itu juga mengakibatkan kerusakan sekitar 1,4 miliar dolar AS. Biro Pusat Statistik Palestina mengatakan, sekitar 26.000 penduduk Gaza tak bisa tinggal di rumah-rumah mereka, dan untuk sementara mereka ditampung di tempat-tempat penampungan darurat. Biro itu memperkirakan sekitar 20.000 bangunan telah porak-poranda akibat serangan udara Israel, selain serangan laut dan darat yang dimulai 27 Desember, dan sekitar 4.000 bangunan hancur total. Para surveyor melaporkan kepada biro itu, bahwa bangunan-bangunan umum juga dirusak termasuk 18 gedung sekolah dan perguruan tinggi, jalan raya, jembatan, saluran tenaga listrik, air dan pipa pembuangan limbah.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009