Padang (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Pusat Studi Investasi Politik Indonesia, Ruslan Ismail Mage mengingatkan, aksi demo dengan membawa kerbau tidak perlu disikapi pemerintah dengan pendekatan gaya orde baru.

"Yang perlu dilakukan adalah, sosialisasi persuasif bahwa menghina dan merusak simbol negara ada sanksinya, terlebih menyangkut presiden sebagai kepala negara," katanya ketika dihubungi, Kamis.

Dengan upaya persuasif, kata dia, diharapkan demo-demo selanjutnya tidak lagi menggunakan atribut-atribut yang tidak sopan menurut ukuran etika bangsa Indonesia.

Penulis buku berjudul "Industri Politik" itu mengakui, tidak gampang menjadi negara demokrasi ketika pemimpin dan elite politik tidak mau berjiwa sportif mengakui kesalahan dan mengapresiasi suara rakyat.

"Harus dipahami bahwa demokrasi dan demonstrasi adalah bayi kembar siam yang susah dipisahkan. Semakin maju demokrasi di suatu negara berarti semakin terbuka ruang dan waktu untuk demonstrasi," kata penulis buku "Komat Kamit Politik" itu.

Persoalannya, kata master ilmu politik jebolan UI itu, bagaimana demonstrasi yang dilakukan harus beretika. Inilah yang harus disikapi dengan hati-hati karena agak susah mengharapkan massa yang demo mematuhi etika.

Alasannya, dalam konteks kasus Century sudah terlalu banyak pelanggaran etika. Karena itulah, menyikapi demo membawa kerbau yang mengidentifikasi presiden tidak perlulah dengan pendekatan-pendekatan represif ala orba.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat kerja semua menteri dan gubernur se-Indonesia di Istana Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, Selasa (2/2), meminta para menteri dan gubernur untuk membahas cara unjuk rasa 28 Januari lalu diantaranya dengan membawa kerbau yang disertai tulisan yang bernada sindiran kepada Presiden RI.

"Apa itu ekspresi kebebasan dan demokrasi," kata Presiden.(O003/A024)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010