Semarang (ANTARA News) - Pendonor hati untuk Bilqis Anindya Passa (17 bulan), yang menderita "atresia bilier" (saluran empedu tidak terbentuk atau berkembang sempurna), sehingga harus menjalani transplantasi hati tak harus dari orang tua kandungnya.
"Donor untuk transplantasi hati tidak harus berasal dari keluarga, berbeda dengan transplantasi sumsum tulang belakang," kata penggagas tim transplantasi hati RSUP dr Kariadi Semarang, Prof. dr. AG. Soemantri di Semarang, Rabu.
Menurut dia, ibunya Bilqis pun belum tentu cocok dengan jaringan-jaringan hati yang dimiliki Bilqis, karena itu pihaknya harus melakukan pemeriksaan secara detail untuk memastikan donor sesuai dengan kondisi yang dimiliki Bilqis.
"Pemeriksaan yang dilakukan, di antaranya meliputi volume dan arah jaringan yang dimiliki pendonor, termasuk kondisi pendonor yang harus benar-benar sehat. Volume yang diambil dari pendonor berkisar antara 20-25 persen," katanya.
Ia mengakui, hati donor yang diberikan memang berisiko mendapatkan penolakan dari tubuh pasien, menimbulkan infeksi, hingga pendarahan, sehingga pasien harus mendapatkan pengawasan ketat di intensive care unit (ICU) hingga dua minggu usai operasi.
Menurut dia, RSUP dr. Kariadi Semarang pernah dua kali menangani operasi transplantasi hati, pertama dilakukan terhadap Ulung Hara Hutama dari Semarang pada 2006, serta satu orang yang tidak mau namanya dipublikasikan, dan keduanya berhasil.
"Kasus yang dialami Bilqis berbeda dengan Ulung, sebab Bilqis sebelumnya pernah menjalani operasi kasai (operasi bedah perut untuk menyambung hati ke usus halus), sedangkan Ulung saat itu belum pernah," kata ahli darah tersebut.
Sementara itu, ahli medikalogal RSUP dr. Kariadi Semarang, dr. Sofwan Dahlan memastikan, donor hati yang akan diberikan kepada Bilqis berasal dari orang yang masih hidup, bukan dari kadaver (orang mati).
"Donor dapat dibedakan menjadi dua, yakni `living donor` (orang yang hidup) dan kadaver, sedangkan `living donor` dibedakan dua, yakni donor yang bersifat `related` (memiliki hubungan darah) atau tidak memiliki," kata Sofwan yang juga anggota tim transplantasi hati.
Ia mengatakan, hukum di Indonesia belum memperbolehkan pengambilan donor dari kadaver, kecuali orang itu meninggalkan wasiat sebelum meninggal untuk mendonorkan organ tubuhnya, karena Indonesia masih menganut "opting in system".
Selain itu, kata dia, masing-masing pihak harus menandatangani kesepakatan yang menyetujui, seandainya resiko-resiko yang dikhawatirkan terjadi setelah dilakukan operasi transplantasi hati tersebut.
"Pihak keluarga juga harus sanggup untuk menjalani berbagai tahapan yang ditentukan pasca-operasi untuk mendukung kesembuhannya, kalau tidak seperti itu kasihan pendonor yang telah menyumbangkan organnya," kata Sofwan.(U.PK-ZLS/R009)
Pewarta: Luki Satrio
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010