"Pernyataan Wakapolri soal pemberdayaan jeger (preman) di pasar agar pedagang dan pengunjung pasar taat patuh kepada protokol kesehatan COVID-19. Harus dipahami dalam setiap komunitas selalu ada tokoh-tokoh yang dipandang dan menjadi panutan," kata Azmi dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, menjadikan tokoh yang dipandang dalam komunitas menjadikan perintah menjadi lebih efektif.
"Bahkan, seringkali tanpa harus memberikan ancaman atau sanksi jika tokoh terpandang di komunitasnya melakukan suatu tindakan akan langsung dicontoh oleh anggota komunitas," ujar Azmi yang juga Dosen Sosiologi Hukum dan Kriminologi itu.
Dalam sosiologi, lanjut dia, hal itu dapat terjadi karena ada relasi patron dan klien atau relasi saling tergantung.
"Atau dalam pendekatan lain karena rasa "group" dan "out group", kalau tidak mengikuti tokoh seperti bukan dari bagian grup," kata dia.
Oleh karena itu, ia menilai pernyataan Wakapolri tersebut dapat dipahami sebagai ajakan agar semua elemen bisa patuh pada protokol kesehatan.
"Kalau tidak patuh maka minta bantuan kepada tokoh setempat atau tokoh komunitas. Kalau di pasar ada jeger, di komunitas lain ada tokoh yang lain. Jadi bukan preman, tetapi siapa saja yang berpengaruh di lingkungannya agar anjuran ajakan mematuhi protokol COVID-19 menjadi lebih efektif," tuturnya.
Baca juga: Pemprov DKI batasi kerumunan maksimal lima orang
Baca juga: PSBB lagi, IBL koordinasi ulang bahas nasib kelanjutan kompetisi
Baca juga: Anggota DPR: Kebijakan PSBB harus terintegrasi pemerintah pusat-pemda
Baca juga: Jakarta ubah formulasi pengendalian COVID-19 jadi lebih masif
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020