Jakarta (ANTARA News) - Dalam acara bedah buku "99 Tokoh Olahraga Indonesia (Catatan Satu Abad 1908-2008)" terbitan ANTARA Pustaka Utama, Selasa (2/2), muncul pertanyaan, dalam hingar bingar demokrasi yang ribut dan gaduh, apakah mungkin sebuah peristiwa olahraga bebas dari politisasi?.
Mungkin ada yang menjawab tidak mungkin dipolitisasi. Tetapi, dalam dosis tertentu, olahraga agaknya memang harus dipolitisasi, apalagi sejarah membuktikan banyak peristiwa olahraga atau sepak terjang tokohnya menjadi gerakan politik atau berpengaruh secara politik.
Sebut saja apa yang dilakukan oleh petinju legendaris Mohammad Ali. Penentangannya untuk masuk wajib militer dan penolakannya dikirim ke Vietnam telah mendorong gerakan antiperang mencapai momentumnya.
Keterlibatan tentara Amerika Serikat dalam Perang Vietnam dipersoalkan, terutama yang dikirimkan ke garis depan dan mati dalam kantong-kantong mayat umumnya adalah prajurit berkulit hitam.
Akhirnya, dengan sangat memalukan, Presiden AS Lyndon B Johnson menarik pasukan AS dari Vietnam setelah sekitar 58.000 tentara AS mati di rawa-rawa atau lubang-lubang tikus jebakan tentara Vietcong.
Akibat desakan gerakan antiperang yang antara lain dari tokoh seperti Mohammad Ali dan John Lennon dengan slogannya yang terkenal "Make Love, Not War", Menteri Pertahanan Robert S McNamara akhirnya mengakui apa yang dilakukan tentara AS di Vietnam adalah "It is wrong, terribly wrong".
Mohamad Ali pun kemudian dikenal bukan saja sebagai petinju tersohor, tetapi juga tokoh anti perang dan kampiun gerakan antidiskriminasi warna kulit.
Tan Joe Hok
Di Indonesia, tokoh olahraga nasional yang gerakannya berdampak politik signifikan adalah pebulutangkis tangguh Tan Joe Hok.
Ia bisa disamakan dengan Mohammad Ali dalam upayanya memperjuangkan persamaan hak warga negara tanpa memperhitungkan asal-usul dan warna kulitnya.
Dalam buku "99 Tokoh Olahraga Indonesia" yang diterbitkan Perum LKBN Antara bekerjasama dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga itu bisa dibaca cerita prestasi, perjuangan, harapan dan cita-cita Tan Joe Hok.
Lelaki yang ditakdirkan sebagai keturunan Cina itu lahir di Bandung, 11 Agustus 1937, jauh sebelum Republik Indonesia lahir. Ia telah mengharumkan nama Indonesia lewat prestasi tingginya dalam bulutangkis.
Pada 1958, Joe Hok memperkuat tim Piala Thomas yang berhasil membawa pulang trofi kejuaraan dunia beregu putra.
Setahun berikutnya, ia mencetak sejarah dengan menjadi pebulutangkis Indonesia pertama yang menjuarai All England. Tidak cukup dengan itu, ia menyusul gelar itu dengan menjadi juara di Kanada dan Amerika Serikat yang membuat namanya menghiasi majalah olahraga terkenal "Sport Illustrated" edisi 13 April 1959.
Orang-orang di generasinya selalu memuja-muji Tan Joe Hok dan mengakuinya sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang membuat etnis Cina dan pribumi menyatu.
Jika Anda hidup di masa atau generasinya, Anda akan menyaksikan masyarakat amat antusias menyaksikannya bertanding.
Nyaris semua orang berkumpul di rumah-rumah yang memiliki pesawat televisi. Mereka berdoa, harap-harap cemas, menonton pertandingan All England atau Piala Thomas, dan sesekali tepuk tangan berteriak mengelu-elukan jagoannya.
"Hidup Tan Joe Hok! Hidup Indonesia!" begitu masyarakat mendukung dan berada di belakang Tan Joe Hok.
Tan Joe Hok membuat hubungan antaretnis Tionghoa dan pribumi di banyak tempat di Indonesia berjalan harmonis, sehingga dia dianggap pahlawan oleh banyak kalangan.
Tak butuh gelar pahlawan
Tapi Joe Hok ternyata tidak membutuhkan gelar pahlawan. Ia hanya menginginkan persamaan status haknya yang waktu itu masih berbeda, antara dia yang keturunan Tionghoa dengan warga pribumi.
"Bukan gelar pahlawan atau penghargaan sejenisnya yang saya minta. Tetapi, kalau boleh saya berharap, saya hanya ingin diakui sebagai putera Indonesia, dan tidak lagi dimintai SBKRI, karena itu menyakitkan," katanya seperti tertulis di buku jenis coffee table setebal 278 halaman berharga jual Rp300.000.
Joe Hok mengaku selalu terganggu ketika diminta Surat Tanda Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI) dalam berbagai urusan dengan negara. Bahkan sekalipun undang-undang sudah menghapuskannya, pada praktiknya surat itu tetap diminta saat dia mengurus paspor pada awal 2009.
Meski tidak pernah mengungkapkannya, Joe Hok yang pernah merasakan pahit manisnya pemerintahan Presisden pertama RI Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, mengaku tidak mengerti mengapa masih ada orang yang meragukan kewarganegaraannya.
Menurut wartawan senior A.R. Loebis, salah satu penulis buku, Joe Hok telah berjuang bukan hanya untuk mengharumkan nama bangsa dan Republik Indonesia, tapi dengan caranya sendiri telah memperjuangkan persamaan hak bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.
Apa yang diperjuangkan oleh Joe Hok, menurut Loebis, sebagian sudah bisa dinikmati oleh warga Tionghoa Indonesia. Meriahnya suasana menjelang Imlek sekarang ini tidak lepas dari jerih payahnya.
Orang-orang Tionghoa sudah bisa mendirikan sekolah sendiri, bebas menggunakan bahasa Mandarin, menerbitkan Koran berbahasa Cina, bahkan bisa menikmati berita Xin Wen di televisi.
Jika datang ke mal dan pusat-pusat perbelanjaan, suasana Gong Xie Fa Cai sangat meriah. Atraksi barongsai, lampu dan hiasan warna merah sangat mendominasi.
"Itu sedikit banyak ada sumbangsih dari Tan Joe Hok," kata Loebis usai bedah buku bersama grandsmaster catur Utut Adianto, Deputy V Menko Kesra Sugihartatmo, dan pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga Yuni Poerwanti.
Cerita tentang kiprah, prestasi dan perjuangan Tan Joe Hok di Indonesia dan Mohammad Ali di Amerika Serikat membuktikan bahwa olahraga bisa berdampak politis dan bisa dipolitisasi untuk tujuan-tujuan yang baik dan mulia.
Sportivitas dunia politik
Satu hal lain yang harus didorong dari dunia olah raga ke dunia lain, terutama dunia politik adalah aspek sportivitas.
Setiap atlet telah ditempa bahwa kalah menang dalam pertandingan adalah hal biasa. Yang penting adalah persiapan, latihan, dan memberikan yang terbaik.
Dalam dunia olahraga berlaku siapa cepat, siapa kuat, dia yang menang, yang juga merupakan motto Olimpiade, citius (lebih cepat), altius (lebih tinggi), fortius (lebih kuat). Siapa yang menang, dia yang terbaik.
Dalam dunia politik, kalah-menang menjadi tidak biasa. Politikus siap menang, tetapi belum tentu siap kalah. Itulah yang menyebabkan bangsa Indonesia, seperti disebut beberapa kalangan, sebagai bangsa yang ribut dan gaduh.
Oleh karena itu, sportivitas dalam dunia olahraga itu patut diadopsi pula oleh dunia politik, termasuk di Pansus DPR soal Bank Century. Itulah yang dimaksud politisasi olahraga. (*)
Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010
BTW, nama itu dieja Muhammad Ali (bukan Mohammad)...dan rasanya agak terlalu menyederhanakan persoalan utk menggambarkan bhw Perang Vietnam berakhir (atau diakhiri) krn Ali dan Lennon.
Di negeri kita ini, sejak dulu banyak pejabat ingin memimpin organisasi olahraga, misalnya seorang menteri sebagai Ketua Umum Pengurus Besar sebuah cabang olahraga. Mengapa dia berminat dan apa urusannya? Jawabnya mudah: Pak menteri tsb akan memperluas akses dan jaringan ke Gubernur, instansi, perusahaan, plus pencitraan (+)pengabdian masyarakat. Akhirnya, Dirjen, Direktur, Dinas \"terpaksa\" dukung + dapet akses ekstra juga ke Menteri. Ini semua kan politisasi.