Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Corruption Watch (ICW) berpendapat pemberian sejumlah honor kepada kepala daerah adalah ilegal dan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
"Karena itu, pemberian sejumlah honor itu telah memenuhi unsur-unsur gratifikasi dan suap," kata peneliti ICW, Tama S Langkun, dalam diskusi yang bertemakan "Hentikkan Pemberian Upeti untuk Kepala Daerah", di Jakarta, Selasa.
Temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan adanya setoran 27 Bank Pembangunan Daerah (BPD) ke para pejabat daerah, dan enam BPD telah menyetorkan imbalan kepada kepala daerah dengan total nilai Rp360 miliar.
Imbalan itu diberikan sebagai hadiah bunga atas dana APBD yang disimpan di setiap BPD.
Tama menyebutkan kepala daerah yang menerima honor itu, melanggar sejumlah aturan, antara lain, melanggar Pasal 28 Undang-Undang (UU) Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) yang menyebutkan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang turut serta dalam suatu perusahaan baik milik swasta maupun milik negara, daerah atau dalam yayasan bidang apapun.
"Kemudian melanggar Pasal 5 PP Nomor 109 tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berbunyi bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak dibenarkan menerima penghasilan dan atas fasilitas rangkap dari negara," katanya.
Karena itu, ICW memberikan rekomendasi dalam penanganan pemberian honor senilai Rp360,311 miliar, KPK segera mengambil tindakan untuk memprosesnya.
"Serta mendesak presiden untuk meningkatkan fungsi pengawasan terhadap penggunaan anggaran negara," katanya.
Sementara itu, pemerhati praktik keuangan negara, Leo Nugroho, menyatakan, pemerintah perlu segera melakukan sensus atas penghasilan yang sah dan tidak sah dari para penyelenggara negara dan pegawai negeri sipil (PNS) terkait honor kepada kepala daerah.
"Pemerintah agar menerapkan single income atas penghasilan yang dianggap sah berdasarkan sensus tersebut dalam kerangka reformasi birokrasi," katanya.(R021/R009)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010