Jakarta (ANTARA News) - Di tengah gempita perang melawan Alqaeda, CIA menawari agen-agennya untuk berbagi keahlian dengan perusahaan-perusahaan swasta yang memberi peluang para raksasa keuangan swasta dan lembaga lindung nilai (hedge fund) untuk mengakses sistem intelijen Amerika.
Fakta ini terungkap setelah CIA dikritik habis karena gagal mendeteksi percobaan bom Natal dalam penerbangan 253 milik maskapai Northwest Airline.
Sejumlah sumber di CIA membela kebijakan "nyambi" ini karena akan lebih berbahaya jika agen CIA menyeberang menjadi karyawan swasta, apalagi mereka bisa digaji dua atau tiga kali lebih besar dibandingkan menjadi agen CIA.
CIA menjamin kerja sambilan para agennya tak akan mempengaruhi proses investigasi negara. Seorang agen CIA yang ingin bertugas di luar kewajibannya, harus terlebih dahulu menerangkan jenis pekerjaan yang dimasukinya dan mendapatkan izin dari bos.
"Jika ada permohonan izin dari para agen untuk bekerja di luar, maka permintaan itu dikaji tidak hanya dari legalitasnya, namun juga kepantasannya,” kata Juru Bicara CIA George Little.
"Secara umum, untuk pekerjaan yang sifatnya nonpolitis, semua pegawai negeri sipil dibolehkan bekerja di luar kantor, namun itu ada pembatasan-pembatasan,” kata Elaine Newton dari Office of Government Ethics.
Namun ini tak berlaku bagi sebuah perusahaan konsultan di mana agen aktif dan mantan CIA bekerja menularkan teknik-teknik intelijen kepada perusahaan-perusahan keuangan dan hedge fund.
Nama perusahaan itu adalah Business Intelligence Advisors (BIA).
Perusahaan berbasis di Boston ini didirikan dan berkaryawankan para pensiunan CIA, dengan spesialisasi operasi rahasia, "deteksi pengelabuan" (deception detection).
Klien-klien BIA diantaranya adalah bank investasi Goldman Sachs dan raksasa hedge fund seperti SAC Capital Advisors.
BIA pernah mempekerjakan para agen aktif CIA, meskipun Presiden BIA Cheryl Cook mengatakan itu tidak benar-benar penuh bekerja.
Namun pertalian BIA dengan CIA ternyata jauh lebih dalam dari itu sehingga muncul anggapan bahwa BIA adalah kepanjangan tangan CIA.
Klien bisnis CIA bisa menyetor antara 400.000-800.000 dolar AS setahun. Sebagai gantinya, perusahaan-perusahaan mendapatkan akses ke sejumlah layanan BIA, yaitu program-program intelijen produk CIA.
Dalam satu presentasi pada 2006, pekerja BIA menjanjikan para manajer sebuah hedge fund terkemuka, SAC Capital Advisors, bakal mendapatkan teknik intelijen.
Mereka akan diajari oleh dua wanita berlatarbelakang intelijen. Seorang diantaranya telah bekerja selama 20 tahun untuk CIA dengan spesialisasi poligrafi, wawancara, dan pengelabuan, sedangkan satunya lagi telah bekerja di CIA selama 25 tahun dengan spesialisasi interogasi.
Para instruktur BIA ini mengajari karyawan hedge fund di bawah program bertajuk “Tactical Behavior Assessment (TBA)” atau "Pengukuran Prilaku Taktis."
Teknik ini memungkinkan interogator menggali informasi dari objek tanpa menempelkan alat apapun ke tubuhnya. Objek tidak tahu bahwa mereka sedang diselidiki.
TBA memokuskan perhatian kepada isyarat verbal dan nonverbal dari objek manakala sedang berbohong.
Teknik ini dikenal baik oleh psikiater. Gambarannya begini, saat orang tidak nyaman, orang akan menggeliat-geliat, saat gelisah, orang akan makin menggeliat-geliat lagi, membetulkan pakaiannya, mengubah posisi duduknya.
Para agen akan memperhatikan indikator-indikator kebohongan secara fisik, dengan mempelajari gerak tubuh, bibir, alis, rona wajah, dan gerak-gerik objek seperti menyisir-nyisir rambut atau membetulkan letak kaca mata.
Mereka sengaja meletakkan barang di meja, misalnya kertas atau pulpen. Jika objek mengutakatik barang-barang itu, maka disimpulkan objek sedang berbohong.
Para pewawancara akan mendengarkan kalimat objek, termasuk seberapa sering mereka melontarkan kata-kata seperti "sejujurnya," "pada prinsipnya," atau "demi tuhan," dan sebagainya, serta cara mereka memberikan jawaban.
Analisis
BIA tidak hanya menjual pelatihan seperti itu, namun juga menawari analisis objek.
Kerap kali, BIA menerjunkan agennya untuk menganalisis pembicaraan para eksekutif perusahaan di akhir kuartal yang jamak dilakukan Wall Street, yaitu perbincangan antara direksi dengan para analis bursa.
Manajemen melakukannya untuk mendapatkan informasi guna menarik investor, sedangkan analis menggunakanya untuk meyakinkan manajemen.
Sementara tugas BIA adalah membuktikan apakah pernyataan perusahaan kepada bursa itu benar atau tidak. Semua ini dilakukan atas bantuan para analis didikan CIA.
Contohnya terjadi pada Agustus 2005, saat Hong Liang Lu, CEO sebuah perusahaan bernama UTStarcom, yang saat itu bertelekonferensi dengan para bankir investasi Wall Street.
Berambut kelimis dan bersenyum menawan, Lu digambarkan cerdas dan kompeten. Namun, Lu tidak menyadari perbincangannya dengan para analis sedang dipantau dari jarak ribuan kilometer oleh para agen CIA yang menganalisis suaranya.
Para analis ini akan mencoba membuktikan apakah Lu berkata jujur mengenai kondisi kesehatan keuangan perusahaannya.
Jika analisis suara Lu itu nantinya selesai, maka BIA akan memberikan kesimpulan kepada kliennya, sebuah perusahaan hedge fund besar.
Investigasi BIA itu membantu sang hedge fund, apakah mereka harus membeli atau menjual saham UTStarcom. Jika kerja analis CIA itu efektif, maka si hedge fund untung besar dan mengarahkan pasar.
Perusahaan milik Hong Liang Lu ini berbisnis jualan broadband, telepon nirkabel, perangkat dan teknologi Internet mobil, ke seluruh dunia.
Perusahaan itu mengklaim menangguk laba 700 juta dolar AS di kuartal ketiga, dan kendati sebenarnya mengalami tekanan, kinerja perusahaan bisa disebut menguntungkan (profitabilitas). Intinya, manajemen menganggap pencapaian usahanya positif, sedangkan si CEO optimistis usaha perusahaannya positif.
Para analis investasi dari Bank of America, Smith Barney, Deutsche Bank dan bank-bank investasi Wall Street lainnya, menjadi diantara undangan yang hadir dalam telekonferensi UTStarcom.
Para analis ini ingin mengetahui, "Akankah saham UTStarcom bagus di kuartal ketiga?
Setelah didahului sambutan, Lu membuka sesi tanya jawab pertamanya.
Salah seorang penanya, Mike Ounjian, analis bermata biru dari Credit Suisse First Boston, menanyakan potensi masalah dalam pembukuan pendapatan yang oleh manajemen dibukukan sebagai laba.
Mike bertanya, mengapa perusahaan melakukan langkah seperti itu. Dia memperkirakan jika masalah yang dihadapi perusahaan kian buruk, maka pencapaian perusahaan pada kuartal berikutnya terancam dan mendorong harga saham anjlok.
"Apakah semua ini berkaitan dengan pernyataan kinerja keuangan itu?” tanya Mike Ounjian.
Michael Sophie, Chief Financial Officer, lalu terdengar di wahana sadapan BIA, menjawab pertanyaan Mike.
"Ya, penangguhan sebagian besar pesanan telepon nirkabel yang tidak terpenuhi itu jelas (kategorinya) PAS [Personal Access System]. Saya pikir Anda melihat pengumuman (laporan keuangan) pada akhir Juni di mana kami mengumumkan permintaan infrastruktur PAS di China. Sekali lagi, ini hanya soal waktu pemesanan dan bagaimana memperoleh izin, kami juga mendapati pengiriman CDMA mengalami penundaan. Tapi di kuartal tiga, perusahaan jelas lebih mempriortaskan (pengadaan) handset.”
Setelah menganalisis telekonferensi itu, BIA mengirimkan laporan rahasia setebal 27 halaman kepada kliennya. BIA menggarisbawahi jawaban Sophie itu sebagai hal yang harus diperhatikan, dan mencatatnya sebagai rekomendasi untuk berinvestasi.
BIA menyebut pernyataan perusahaan di telekonferensi itu berbelit-belit dan para analis meyakinkan bahwa Sophie telah berusaha meminimalkan keterlambatan pesanan.
"Keengganan Pak Sophie mengomentari isu-isu yang berkaitan dengan pernyataan kinerja usaha, dan prilaku keseluruhan (selama telekonferensi) menunjukkan bahwa masalah seputar kinerja tak bisa dikesampingkan.”
Secara keseluruhan, Tim BIA menempatkan derajat telekonferensi pada "tingkat keprihatian medium tinggi," setingkat dengan telekonferensi satu kuartal sebelumnya.
Namun kali ini tim BIA menemukan lebih banyak masalah, yang ditulis tebal-tebal sebagai, "Kurang Dipercaya,” “Sangat Memprihatinkan,” dan "Menyembunyikan Informasi.”
Dalam kesimpulannya, tim BIA mengatakan bahwa para eksekutif perusahaan itu memprihatinkan priode perolehan laba dan penerbitan laporan keuangan.
BIA menyimpulkan, "Prilaku manajemen menunjukkan bahwa perusahaan bakal merugi di kuartal ketiga, dan itu menunjukkan bahwa mereka juga tak akan untung di kuartal empat.”
Klien BIA memang tidak berhak menyebut laporan BIA itu akurat atau tidak, sebaliknya adalah kewajiban mereka untuk memperhatikan rekomendasi BIA. Lagi pula, para pejabat UTStarcom terbukti tidak jujur saat telekonferensi.
Yang jelas, setelah kesimpulan BIA disampaikan dan sebulan setelah telekonferensi 2 Agustus, harga saham UTStarcom jatuh 1 dolar AS.
Lalu pada 6 Oktober 2005, perusahaan itu menerbitkan laporan kuartal ketiga yang mengejutkan Nasdaq karena bertentangan dengan klaim para eksekutifnya selama telekonferensi.
Misalnya, UTStarcom memperkirakan bakal memperoleh total pendapatan antara 620-640 juta dolar AS, di bawah target sebelumnya 660-680 juta dolar AS.
Keesokan harinya pada 7 Oktober 2005, investor panik melepas saham perusahan itu hingga lebih dari 23 juta kali transaksi.
Lalu, sehari setelah laporan keuangan kuartal ketiga diterbitkan, saham itu turun 2 dolar AS untuk ditutup pada 5,64 dolar AS. Padahal, saham itu masih di posisi 8,54 dolar AS ketika BIA menyadap dan menganalisis telekonferensi.
Intinya, jatuhnya harga saham UTStarcom terjadi setelah agen-agen didikan CIA menganalisis telekonferensi ketika mana manajemen UTStarcom telah menutup-nutupi kondisi keuangan sebenarnya dari perusahaan itu. (*)
Disadur oleh Jafar Sidik dari Politico.com edisi 1 Februari 2010
Oleh
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010