Yogyakarta (ANTARA News) - Sebanyak 250.000 warga negara Indonesia (WNI) berobat ke Malaysia setiap tahun karena kurang percaya dengan kemampuan dokter dalam negeri, kata Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Rusdi Lamsudin.

"Angka itu belum termasuk WNI yang berobat ke Singapura atau Australia," katanya pada pengambilan sumpah sembilan dokter baru lulusan Fakultas Kedokteran UII di Yogyakarta, Senin.

Menurut dia, dengan semakin banyaknya WNI terutama dari kelompok berpenghasilan tinggi yang berobat ke luar negeri menunjukkan kepercayaan terhadap dokter dalam negeri mulai tergerus.

"Banyaknya warga yang berobat ke luar negeri bisa jadi karena alasan medis seperti peralatan yang lebih lengkap dan kemampuan tenaga medis. Selain itu, ada kecenderungan masyarakat Indonesia kurang percaya dengan kemampuan anak bangsa sendiri," katanya.

Ia mengatakan, masalah itu perlu dianalisis lebih lanjut untuk mengatasi dampak yang timbul dari semakin banyaknya masyarakat berobat yang ke luar negeri. Dampak yang timbul bisa berupa masalah ekonomi maupun harga diri para dokter Indonesia.

"Ada sejumlah alasan mengapa kualitas pelayanan medis luar negeri lebih dipilih sebagian masyarakat kita, di antaranya masalah komunikasi antara dokter dengan pasien,` katanya.

Menurut dia, pasien yang berobat ke luar negeri meskipun menggunakan bahasa yang berbeda dengan dokternya dapat berkonsultasi hingga satu jam, sedangkan di Indonesia meskipun sama-sama memakai Bahasa Indonesia, konsultasi dan pelayanan yang diberikan dokter kepada pasien paling lama hanya berlangsung 15 menit.

"Hal itu merupakan masalah yang harus dipecahkan, karena dari sisi kualitas tidak sedikit dokter Indonesia yang secara internasional diakui kapasitas keilmuannya dan tidak kalah dengan dokter luar negeri," katanya.

Untuk itu, menurut dia, dokter baru hendaknya tidak terjebak pada rutinitas profesionalisme yang sempit. Banyak dokter yang meyakini bahwa ilmu kedokteran hanya terfokus pada masalah penyakit.

Padahal, idealnya selain melakukan intervensi fisik, dokter juga harus berperan dalam intervensi moral dan sosial di tengah masyarakat dengan menerapkan tri peran dokter, yakni sebagai agen perubahan, agen pembangunan, dan agen pengobatan.

Ia mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Nasional, dan institusi profesi dokter sudah saatnya bekerja sama merumuskan modifikasi pembagian fungsi dokter pendidik, peneliti, dan pembagian tugas yang dibebankan.

"Hal itu perlu karena WHO telah lama mengampanyekan `the five star doctors` dengan kemampuan sebagai pimpinan masyarakat, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, mampu mengelola, pangambil keputusan yang andal, dan penyedia layanan," katanya.(B015/A038)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010