Makassar (ANTARA) - Badan Pengawas Pemilu Sulawesi Selatan, belum menerima laporan resmi berkaitan dengan beredarnya informasi dugaan pemberian mahar politik yang belum dikembalikan oknum pengurus Partai Politik kepada pasangan bakal calon di Pilkada Kabupaten Kepulauan Selayar.
"Saat ini belum ada laporan soal itu. Kami tentu menunggu dari bakal calon bersangkutan (Akbar Silo). Kalau memang betul telah menyerahkan mahar politik untuk mendapat dukungan dari partai tertentu," ujar anggota Badan Pengawas Pemilu Sulawesi Selatan saat dikonfirmasi wartawan, Rabu.
Hal ini berkaitan dengan beredarnya informasi dari tim bapaslon Prof Dr Akbar Silo-Daeng Maroa telah menyerahkan uang kepada salah seorang oknum pengurus Parpol. Belakangan diketahui dari PAN yang menjanjikan akan diberi usungan, namun batal hingga dana itu urung dikembalikan.
Baca juga: Parpol bantah mahar politik dalam rekomendasi Pilkada Jember
Koordinator Divisi Humas dan Hubal Badan Pengawas Pemilu Sulawesi Selatan, Saiful, sejauh ini menyatakan, "Gejalanya ada. Transaksi itu tentu diserahkan di 'ruang gelap'. Dugaan pelanggaran ini pernah terjadi pada Pilkada di Jawa Timur, hingga Bawaslu setempat turun menelusurinya dengan dasar laporan."
Ia menjelaskan, ada sanksi kepada partai politik selaku penerima dan bakal calon selaku pemberi. Sanksi terhadap partai politik adalah dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.
Sementara bagi calon atau pasangan calon, lanjut dia, bila terbukti dengan hasil putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka pencalonannya dibatalkan.
Baca juga: Bawaslu Sulsel peringatkan parpol soal pelarangan mahar politik
Namun dalam kasus ini diketahui, bakal calonnya sebelum mendaftar tidak mampu mencukupkan kursi di DPRD sebagai persyaratan yang ditetapkan KPU Kabupaten Kepulauan Selayar, sehingga batal maju menjadi kontestan.
Aturan terkait mahar politik, sebut dia, diatur dalam UU Nomor 8/2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota pada pasal 47.
Selain itu, anggota parpol atau anggota gabungan parpol yang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Pilkada, dapat dipidana 72 bulan dan denda paling sedikit Rp300 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Baca juga: Golkar: Tidak ada mahar politik dalam pilkada
Secara terpisah, pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto, melihat kasus mahar politik lebih kepada etika. Dimana partai politik yang melakukan itu dipastikan telah melanggar komitmennya untuk menciptakan kontestasi bersih.
"Dalam konteks etika politik, perilaku politik seperti ini sangat buruk. Kalau dibawa ke ranah hukum, bisa saja perdata ataupun pidana bahkan bisa jadi ada unsur penipuan di dalamnya," beber Ali.
Dengan adanya dugaan mahar politik itu, kata dia, akan memperburuk citra partai kepada publik. Terlebih pencitraan Pilkada tidak lebih dari permainan seputar uang untuk mendapatkan kekuasaan, yang pada akhirnya membangkitkan apatisme masyarakat.
Baca juga: KPK dalami saksi mahar politik mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa
Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020