Tulungagung, Jatim (ANTARA) - Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti mengingatkan pentingnya pendidikan akhlak dan adab untuk melawan kemerosotan moral generasi muda dan mentalitas para pejabat yang mengutamakan golongan dan kelompok demi melanggengkan kekuasaan.

"Bagi dunia Islam, tidak ada artinya orang kaya tapi miskin akhlak. Atau orang cerdas, tapi miskin adab. Karena hanya akan menimbulkan kerusakan di muka bumi. Meskipun tidak otomatis negara yang mayoritas penduduknya Muslim, lantas berakhlak dan beradab. Tetapi Islam mengajarkan pentingnya kedua hal tersebut," ujar LaNyalla dalam orasi ilmiahnua di IAIN Tulungagung, Jatim, Rabu.

Ia secara khusus diundang untuk mengisi orasi ilmiah dalam rapat senat terbuka pengukuhan guru besar IAIN Tulungagung, Profesor Munardji.

Baca juga: Ketua DPD La Nyala Mattaliti sumbang 120 APD ke RSUD Tulungagung

Orasi Nyalla berpangku pada prinsip ajaran (dalam agama) Islam yang menganggap penting pendidikan akhlak dan adab.

Sebab menurut Nyalla, akhlak melandasi cara kita berpikir dan berbuat. "Sedangkan adab melandasi cara kita melaksanakan pikiran dan perbuatan kita itu, atau cara kita bertindak," katanya.

Karena nilai tersebut bersifat universal, lanjut Nyalla, maka kita sering merasakan dan melihat perilaku Islami di negara-negara non-muslim.

"Seperti bisa kita lihat di Norwegia, Finlandia, Swiss, atau di Selandia Baru dan Jepang. Masyarakatnya begitu tertib dan beretika, sehingga negara-negara tersebut selalu berada di peringkat 10 besar survei negara dengan indeks kebahagiaan dan kemakmuran," paparnya.

Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti saat menyampaikan orasi ilmiah di IAIN Tulungagung, Tulungagung, Rabu (9/9/2020) (Destyan Handri Sujarwoko)r

Artinya, lanjut senator asal Jawa Timur itu, akhlak dan adab menjadi bagian penting dari tercapainya 'welfare state'. Karena akhlak dan adab telah menyatu menjadi bagian dari wajah bangsa.

Termasuk menyatu dalam diri para pemegang kekuasaan dan jabatan, sehingga negara berhasil mengambil peran penting dalam perlindungan dan pengutamaan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya.

Baca juga: Kawal RUU Cipta Kerja, La Nyalla minta DPD RI fokus kepentingan daerah

"Lantas bagaimana dengan Indonesia. Kita lihat saja dari dua sisi. Bagaimana generasi muda dan anak-anak kita serta bagaimana mentalitas pejabat dan para pemegang kekuasaan di negeri ini. Apakah terjadi kemerosotan moral? Jujur harus kita jawab, iya terjadi. Apalagi jika kita lihat data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, tahun 2018, tercatat 504 anak di bawah umur yang terlibat perkara pidana," urainya.

La Nyalla juga mengungkap sejumlah survei yang dilakukan KPAI. Dimana tercatat 62,7 persen remaja SMP sudah tidak perawan. 93,7 persen pelajar SMP dan SMA pernah berciuman. Sementara 21,2 persen remaja pernah melakukan aborsi. Dan 97 persen remaja pernah menonton film porno.

Karena itu, tambahnya, selain pondok pesantren, IAIN sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan pentingnya akhlak dan adab.

Memiliki peranan penting dalam menentukan masa depan bangsa ini, sehingga cita-cita para pendiri bangsa ini, untuk menjadikan Indonesia sebagai "welfare state", dapat terwujud dengan sebenar-benarnya.

"Karena itu, saya bersyukur mendapat kesempatan berbicara di forum lembaga pendidikan. Karena bagi saya, lembaga pendidikan salah satu bagian penting dari penentu wajah generasi bangsa. Sekaligus wajah Indonesia," tutupnya.

Sementara itu, Profesor Munardji dalam orasi ilmiahnya mengatakan era industri 4.0 yang ditandai dengan kehidupan serba cepat dan disruptif, menyebabkan budaya masyarakat cepat marah dan putus asa.

Hal itu bisa terjadi akibat besarnya tekanan dan tuntutan, sehingga dibutuhkan pemimpin yang berjiwa progresif. Yang menjadikan umat sebagai subjek yang harus dilayani.

Dalam disertasinya, Munardji membagi model kepemimpinan menjadi dua.

Pertama adalah etik dan kedua kepemimpinan profetik.

Kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang membawa tiga misi suci, yaitu misi humanisasi, misi liberalisasi dan misi transendensi. (*)

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020