Kabul (ANTARA News/Reuters) - Taliban hari Rabu menolak rencana pemerintah Afghanistan yang bertujuan membujuk gerilyawan meletakkan senjata sebagai imbalan atas bantuan uang kontan dan menyebutnya sebagai "tipuan".
Kelompok garis keras itu menyatakan, satu-satunya penyelesaian atas perang adalah penarikan pasukan asing dari negara tersebut.
Presiden Hamid Karzai akan mengumumkan rincian rencana untuk menyatukan ribuan gerilyawan Taliban kelas bawah-menengah, yang menurut sejumlah diplomat mencakup pelatihan kerja dan pemberian uang kontan, pada sebuah konferensi mengenai Afghanistan di London pada Kamis.
Karzai akan berusaha mencari dana bagi rencana itu dari negara-negara donor Barat pada konferensi tersebut. AS telah menyatakan mendukung rencana itu, yang dirancang pada pertemuan di Abu Dhabi sebelumnya bulan ini antara pemerintah Afghanistan dan negara donor.
Namun, dalam sebuah pernyataan yang dipasang menjelang konferensi itu di salah satu situs mereka (www.alemara.co.cc/), Taliban mengatakan, rencana itu merupakan sebuah "tipuan" dan gerilyawan muslim garis keras itu tidak akan diperlemah oleh setiap rencana yang mendesak militan meletakkan senjata mereka.
"Mereka merasa mujahidin (Afghanistan) akan tergiur oleh uang atau jabatan... pikiran semacam itu tidak berdasar dan sia-sia serta tidak benar," kata pernyataan itu, yang juga dikirim melalui e-mail ke media pada Rabu.
Pernyataan itu juga mengulangi sikap teguh Taliban bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi konflik yang kini memasuki tahun kesembilan itu adalah penarikan pasukan asing dari Afghanistan.
Saat ini terdapat lebih dari 110.000 prajurit internasional, terutama dari AS, yang ditempatkan di Afghanistan untuk membantu pemerintah Presiden Hamid Karzai mengatasi pemberontakan yang dikobarkan sisa-sisa Taliban.
Taliban, yang memerintah Afghanistan sejak 1996, mengobarkan pemberontakan sejak digulingkan dari kekuasaan di negara itu oleh invasi pimpinan AS pada 2001 karena menolak menyerahkan pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden, yang dituduh bertanggung jawab atas serangan di wilayah Amerika yang menewaskan sekitar 3.000 orang pada 11 September 2001.
Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) pimpinan NATO berkekuatan lebih dari 84.000 prajurit yang berasal dari 43 negara, yang bertujuan memulihkan demokrasi, keamanan dan membangun kembali Afghanistan, namun kini masih berusaha memadamkan pemberontakan Taliban dan sekutunya.
Kekerasan di Afghanistan mencapai tingkat tertinggi dalam perang lebih dari delapan tahun dengan gerilyawan Taliban, yang memperluas pemberontakan dari wilayah selatan dan timur negara itu ke ibukota dan daerah-daerah yang sebelumnya damai.
Tahun 2009 tidak saja merupakan masa paling mematikan bagi prajurit, polisi dan warga sipil Afghanistan namun juga bagi pasukan internasional yang memerangi Taliban. Sebagian besar kekerasan terjadi di provinsi-provinsi selatan seperti Kandahar dan Uruzgan.
Presiden AS Barack Obama mengumumkan pada Desember pengiriman 30.000 prajurit tambahan ke Afghanistan untuk bergabung dengan pasukan AS dan ISAF pimpinan NATO yang berada di negara itu untuk memerangi gerilyawan. Negara-negara NATO juga mengirim 7.000 prajurit tambahan ke negara itu.
Delapan tahun setelah penggulingan Taliban dari kekuasaan di Afghanistan, lebih dari 40 negara bersiap-siap menambah jumlah prajurit di Afghanistan hingga mencapai sekitar 150.000 orang dalam kurun waktu 18 bulan, dalam upaya baru memerangi gerilyawan.
Sekitar 520 prajurit asing tewas sepanjang 2009, yang menjadikan tahun itu sebagai tahun paling mematikan bagi pasukan internasional sejak invasi pimpinan AS pada 2001 dan membuat dukungan publik Barat terhadap perang itu merosot.
Gerilyawan Taliban sangat bergantung pada penggunaan bom pinggir jalan dan serangan bunuh diri untuk melawan pemerintah Afghanistan dan pasukan asing yang ditempatkan di negara tersebut.
Bom rakitan yang dikenal sebagai IED (peledak improvisasi) mengakibatkan 70-80 persen korban di pihak pasukan asing di Afghanistan, menurut militer.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010